39. Ini Hadiahku

308 16 6
                                    

_____________________
Bakung layu mengakhiri buktiku.
______________



Tumpukkan buku menyebar dan memenuhi meja belajar seorang perempuan berkacamata. Ruang yang awalnya dipenuhi oleh riuh para murid, kini menjadi hening meninggalkan perempuan itu seorang diri. Hari ini sekolah terpaksa memulangkan para murid lebih cepat. Dan waktu pulang sekolah sudah berlalu sejak satu jam yang lalu, tetapi Val memilih untuk tinggal di tempat itu--berkutat dengan beberapa tugas.

Val menguap lebar sembari merenggangkan tubuh. Hal ini sudah kesekian kalinya ia ulangi. Merasa lelah, ia pun memutuskan untuk beristirahat dalam waktu sekejap. Menumpukan kepala pada tumpukkan tangannya.

Namun, ketika dunia mimpi telah ia rayap, sebuah sentuhan berhasil menyadarkannya. Seketika ia tersentak, melihat apa yang tertangkap oleh indra penglihatannya. Namun, betapa terkejut lagi dia, ketika tubuhnya tidak dapat ia gerakkan sedikit pun. Bukan karena sebuah ikatan, tetapi sekujur tubuhnya sangat terasa kaku. Padahal ia sangat ingin memberontak, melihat seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam lengkap dengan penutup wajah meraba tangannya. Berteriak pun sama sekali tidak bisa ia lakukan. Entah, apa yang sudah disuntikkan oleh sosok itu sehingga mmebuat ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah puas meraba tangan Val, sosok itu pun mengeluarkan sebuah cutter dari saku jaket.

Val melonjak ketakutan, bahkan tanpa sadar air mata ketakutan kini berhasil membasahi pipinya.

Mungkinkah aku mau dibunuh?

Apakah aku akan berakhir seperti ini?

Apa salahku selama ini?

Kalimat itu saja yang terus mengisi otaknya, diiringi dengan doa penuh harapan. ia lontarkan.

Sosok itu memandangnya sekilas. Lalu menempelkan benda itu pada tangan Val. Ia kembali menatap Val dengan lamat-lamat, seolah-olah menikmati ekspresi yang perempuan itu berikan. Dari tatapan yang diberikan, Val dapat menebak kalau sosok itu sedang tersenyum. Bahkan sesekali terdengar suara tawa, ketika ia mencoba memaksakan diri untuk bergerak.

Syat!

Sebuah sayatan berhasil mengenai tangannya. Val ingin berteriak detik itu juga. Dia yakin kalau ia dihadapkan dengan seorang berkelainan mental. Kenapa bisa sosok itu melukainya dengan tatapan datar seperti itu. Seolah-olah yang ia lakukan bukanlah apa-apa.

Mata itu terus memandangi Val. Hingga menjadi akhir dari pandangan gadis itu, yang kini tertutup dengan sempurna.

***

"R--rey, lo ngapain?" Val tersenyum kaku melihat lelaki yang kini duduk di hadapannya. Padahal ia baru saja mendaratkan bokong di bangku kelas.  Rey sudah tiba lebih awal di kelas, lengkap dengan kotak P3K. Padahal Matahari pun baru timbul,

Tanpa izin Rey mengambil tangan gadis itu. "Apalagi kalau bukan ganti perban lo."

Namun, Val kembali menarik tangannya. "Gak usah alay. Sebelum datang ke sini, gue udah ganti perban. Lagian lukanya gak parah, kok, mungkin bentar lagi juga bakal sembuh."

Merasa kecewa, Rey kembali memberesakan alat-alat yang sempat ia keluarkan ke dalam kotak P3K. Sedangkan Val, sibuk memainkan handpone.

"Lo lagi chatting-an sama siapa, sih?" Rey memandangi perempuan itu dengan penuh selidik.

"Mamah, soalnya hari ini mamah berangkat ke luar kota buat tiga hari ke depan."

Rey hanya membulatkan mulut.

"Makasih buat cokelatnya, Sayang." Suara itu berhasil menarik perhatian kedua insan tersebut. Dari luar kelas terlihat seorang perempuan menghadiahkan sesuatu ke pada kekasihnya, yang pasti itu adalah cokelat. Hari ini adalah hari yang dinantikan oleh banyak pasangan kekasih, yaitu valentine.

Seketika itu juga, Val berdecih. "Cih! Hari yang menyebalkan."

"Kenapa? Apa lo iri karena status lo yang masih jomblo, jadi gak ada yang ngasih cokelat ke lo?" ejek Rey penuh kemenangan.

Sontak Val tertawa sumbang. "Iri? Hellooo … bahkan ratusan orang bakal ngirim cokelat ke gue hari ini."

"Gue juga." Status mereka sebagai bintang idola, memang memungkinkan hal itu benar-benar terjadi. "Dan di sekolah ini, gue yakin, kalau gue bakal diserbu oleh banyak cewek yang ngasih hadiah ke gue. Gak kayak lo. Tampilan pas-pasan kayak gini, mana ada yang mau deketin."

Rey bertopang dagu. "Ngebayanginnya aja udah buat gue senang. Atau … bagaimana, kalau sebagian hadiahnya gue kasih ke lo?"

Val memberikan tatapan tajam. "Gak perlu! Hari ini gue yakin, Ragi, pasti ngasih hadiah ke gue!"

Rey tersenyum kaku menerima tatapan itu. "Jangan marah, Nona Cantik. Biarpun banyak cewek yang ngasih hadiah ke gue, bakal gue tolak, kok. Gak minat."

"Berarti lo beda sama gue. Kalau, Ragi, beneran ngasih hadiah ke gue, bakal gue terima. Kalau bisa, detik itu juga gue bakal tembak dia supaya jadi pacar gue."

Rey menautkan kedua alis, seraya memandangi gadis itu. "Lo gak mau ambil hati gue? Di saat banyak orang yang berusaha mendapatkan gue, kenapa lo hanya mengabaikannya? Gue takut, kalau terlalu lama, gue bakal lelah ngejaga hati ini buat lo."

Val bungkam. Kalimat itu berhasil merasuk ke pikiran. Ditambah ia tidak bisa menahan tatapan yang lelaki itu berikan. Dia pun mencoba untuk kabur. "Pokoknya gue cuma suka sama, Ragi!"

Rey menarik tangan Val, dan membuatnya kembali terduduk. Jarak mereka benar-benar sangat dekat. Bahkan untuk mundur saja ia tidak bisa. "Lo beneran bakal nembak, Ragi?"

"I--iya." Val mencoba menghilangkan kegugupannya.

"Tapi, 'kan, gue pacar lo …." Dengan perlahan Rey semakin memangkas jarak di antara mereka.

Sontak Val menutup mulut dengan kedua tangan. Jangan sampai Rey menciumnya--hanya itu yang ada di pikiran gadis itu.

Rey tiba-tiba mengernyit bingung seraya memberi jeda jarak di antara merek. "Kok, lo keliatan gemetar?"

"Terus kenapa lo nutup mulut?" sambungnya.

Sontak kelakuan gadis itu berhasil mengundang tawanya. "Jangan bilang, lo mikir gue mau cium lo?"

Merasa kesal, Val melepaskan tangan dari mulut. "Eng--"

Cup!

Sebuah ciuman berhasil mendarat di dahi perempuan itu.

Kedua bola mata Val membulat dengan sangat lebar. Bahkan mulutnya terasa terkunci oleh hipnotis tersebut. Dengan pelan, Rey melepaskan ciumannya. Ia memandangi gadis yang masih mematung itu.

"Gue emang mau cium lo."

Rey menatapnya dengan lamat-lamat. "Happy birthday, Valentine Goretty."

Val terdiam. Mencoba mencerna, apa yang diucapkan lelaki itu. Tanpa ia sadari, bahwa Rey yang sedang mencoba menahan tawa akibat warna merah di pipi gadis itu.

"Lo yakin, setelah ini lo masih bisa nembak, Ragi?"

»TO BE CONTINUE«

Huaaaaa akhirnya bisa up
 ̄﹏ ̄

Harusnya ini di publish pas hari valentine kemarin~~

Tapi, aku lupa
#hohoho

Oke, byeeeee

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang