40. Val, di mana?

306 16 9
                                    

_______________________
Jangan percaya padaku seperti orang bodoh.
____________




»☆«

Val: Rey, untuk beberapa hari ini gue gak masuk sekolah. Ternyata gue ikut ke luar kota bareng nyokap, sekaligus syuting video klip terbaru. Jadi, jangan kangen sama gue ya~~

Rey membaca ulang pesa n yang baru saja ia terima. Dan benar saja, kalau pesan itu berasal dari gadis itu.

"Rety, di mana? Kenapa dia gak masuk hari ini?" Sebuah suara muncul tepat di hadapannya. Ia pun mendongak dan melihat siapa si pemilik suara.

Ternyata itu Ragi.

Rey pun memberikan tatapan malas, seraya mengedikkan bahu. "Gue gak tahu."

"Lo sahabatnya. Gak mungkin lo gak tahu." Kali ini Ragi memberikan penekanan pada kalimatnya, menandakan bahwa ia sedang tidak bercanda.

Rey tertawa sinis. "Emangnya lo sendiri tahu, Hani, sekarang ada di mana?"

Lelaki itu terdiam.

"Lo gak bisa jawab, 'kan? Padahal katanya kalian sahabat dari kecil. Bahkan lo sendiri gak tahu apa yang sedang dia rasakan sekarang."

Ragi mengeraskan rahang. "Lo gak usah ikut campur urusan gue."

"Benar, ini memang bukan urusan gue." Rey memberi tatapan sinis. "Tapi, sekarang kesempatan lo udah habis."

"Maksud lo apa?" Terlihat jelas tetapan tidak suka dari lelaki itu.

"Sekarang waktunya gue yang bakal kejar, Rety. Selama ini, gue udah kasih kesempatan ke lo. Supaya lo bisa sadar dengan perasaan lo sendiri. Tapi, ternyata dia lebih banyak bersandar di bahu gue daripada lo." Rey memperkikis jarak antara mereka. "Begitu juga sahabat lo."

Ragi hanya bisa merapatkan bibir. Dia hanya bisa melepaskan kepalan tangan di udara, sebelum pergi meninggalkan lelaki itu.

Sedangkan Rey hanya menatap kepergian lelaki itu dengan ekspresi datar.

"Sudah sembunyinya?" Rey menyadari sosok perempuan yang sejak tadi bersembunyi di balik meja.

"Lo mau bicara apa?"

Sosok itu keluar dari persembunyian dengan ragu-ragu. Rey pun memilih duduk di bangku panjang.

"Duduklah." Dia mempersilahkan perempuan itu untuk duduk di sebelahnya. Dan untungnya tidak ada penolakan.

"Lo lihat sendirikan? Mau sampai kapan lo sembunyi dari dia?" Rey menatap dengan lamat-lamat. "Lo masih mau ngejar dia dan nolak perasaan gue?"

Perempuan itu mengangguk. "Iya, gue nolak perasaan lo dan berhenti ngerjar dia. Tapi, ... perasaan gue ke dia masih tetap sama."

Rey menghembuskan napas panjang. "Hani, gue capek lihat lo nangis karena sahabat lo sendiri. Kenapa, sih, lo sama Rety sama aja. Sama-sama nangis cuma karena cowok yang sama?"

Seketika terdengar suara tawa sumbang dari mulut Hani. "Rey, gue sama Rety itu beda. lo gak usah sok perhatian dan baik sama gue. Lo padahal gak tahu, gue ada di sisi mana. Sisi baik atau ... jahat."

Rey tersenyum. "Kalau emang lo jahat, maka gue bakal jaga orang yang lo jahatin."

Hani memberi tatapan yang semakin tajam.

Seolah tak acuh, Rey malah menyodorkan sebuah tisu.

"Rey, jangan baik sama gue. Atau lo bakal menyesal!"

Dengan telinga bak orang tuli, Rey malah menyapukan tisu di pipi perempuan itu. "Kenapa akhir-akhir ini gue ketemu cewek cengeng? Apa mereka gak tahu kalau tangisan perempuan itu adalah kelemahan cowok?"

Ya, tanpa Hani sadari air matanya yang sejak tadi berusaha ia tahan, telah jatuh begitu saja.

"Hani, gue udah lama kenal lo. Setiap lo menyangkal perkataan orang lain, di situ sebenarnya lo merasakan sakit." Rey dengan sangat lembut tersenyum ke arahnya. "Benarkan?"

Entah hipnotis apa yang ada dalam diri Rey, sehingga membuat Hani langsung memeluknya dengan erat.

"Gue pengen ngerasain perlakuan lo ke Rety. Sebentar aja ...." Tangis Hani di dada bidang lelaki itu.

"Baiklah ...."

Maaf, Rey.

***

Sebuah tatapan mencengang tak kunjung berkedip. Wajah pucat terlihat sangat jelas, bukan karena perempuan itu tidak memakai make up. Bahkan rahangnya juga terlihat kaku.

Itu semua karena apa yang ia lihat di hadapannya. Di pagi hari yang cerah, seketika terasa menyeramkan ketika ia terbangun dan dihadapkan dengan sebuah pistol--terpasang tepat mengarah ke kepala. Ia tidak lagi berada di kasur kesayangannya, melainkan terduduk di sebuah kursi dengan kondisi terikat--masih tetap di kamar.

Sempat terbesit cara untuk melepaskan ikatan tersebut. Namun, itu adalah hal yang mustahil ketika ia menyadari, bagian rangkaian ikatan itu terikat tepat di kepala. Tidak sampai di situ, bahkan ikatan di kepalanya tersambung pada trigger senapan tersebut. Dia bukanlah perempuan bodoh, yang tidak mengerti dari ikatan itu. Dia tahu, kalau ia mengeluarkan gerakan yang cukup besar, maka trigger itu akan tertarik, dan mengeluarkan peluru yang akan mendarat tepat di kepala.

Mencoba untuk berteriak minta tolong? Itu tidaklah mudah. Tidak mungkin orang yang membuatnya seperti ini membiarkan ia terikat dengan mulut terbuka.

Sirna.

Val sudah kehabisan akal. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Menangis? Dia sudah terlalu bosan dengan ketakutan ini. Bahkan air mata pun merasa jenuh untuk sekadar keluar.

Dia hanya bisa diam dan menunggu. Menunggu apakah seorang manusia atau malaikat yang akan mendatanginya.

Val sangat muak dengan orang yang telah menerornya. Bahkan ia tak habis pikir, alasan apa yang mendasari, orang tersebut berbuat seperti ini. Yang pasti, Val sudah bertekad untuk memasukkan setan itu ke dalam penjara. Setidaknya, dia harus berusaha hidup sekarang.

Satu, dua jam pun ia lalui dengan berdiam diri. Dia tidak berhenti melirik jam dan ponsel yang berjarak tidak begitu jauh. Bahkan ia hanya bisa diam ketika meihat panggilan yang berkali-kali ia terima dari handphone.

Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul23.00 yang berarti sudah 18 jam ia habiskan dengan seperti ini. Tanpa ada pertolongan.

Pandangannya semakin sayu, bahkan ia semakin pucat. Dia telah kehilangan banyak cairan, dengan lambung yang tidak bisa diajak kompromi. Namun, bagaimanapun juga ia harus bisa menjaga kesadaran. Sedikit saja itu ia abaikan, maka trigger itu akan tertarik dengan mudah.

Di mana Ragi? Rey? Apakah kedua lelaki itu tidak berniat menolongnya? Tidakkah mereka merasa kehilangan atas ketidakhadirannya?

Di saat seperti ini, Val hanya bisa mengucapkan doa. Namun, bersamaan dengan itu, sudah berapa kali ia hampir kehilangan kesadaran.

Dia pun tertawa miris. Mungkinkah ini akhir dari segalanya. Jujur, ia sudah tidak mampu lagi menjaga kesadaran.

Val menyunggingkan sudut bibir.

Harusnya gue ikut, Mamah, keluar kota.

»TO BE CONTINUE«

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang