Kebahagiaan (b)

959 65 12
                                    

»☆«
.
.

"RETY!!"

Teriakan itu berhasil membuat Val mengambil langkah lari. "PEGANG TANGAN GUE!" Dengan salah satu tangan memegang tepi balkon, Val juga mengulurkan tangan lainnya.

Penuh tenaga, perempuan itu juga meraih tangan Val.

Val pun berusaha menariknya ke atas
Namun, itu bukanlah perkara yang mudah. Dengan napas yang terengah-engah, dia berusaha untuk menolong. Dia bukanlah perempuan yang tangguh untuk mengangkat tubuh gadis itu.

"Ret, please … gue gak mau mati di sini," mohonnya dengan air mata yang kembali berlinang. Dia enggan untuk melihat ke bawah, karena gedung dengan lantai empat tidaklah rendah.

"Lo harus tenang," ucapnya berusaha meyakinkan--walaupun dia juga merasakan hal yang sama.

Dengan keringat yang bercucuran, Val mengedarkan pandangan. "TOLONG!"

Tidak ada balasan, dia pun menarik napas panjang, sebelum menelan paksa salivanya. "SIAPA PUN! TOLONG GUE!"

Dia mencoba untuk menoleh ke bawah. Namun, yang terlihat hanyalah segerombolan orang yang sibuk menyaksikan dengan benda canggih mereka--ponsel.

Val mulai terengah-engah. Dia sangat sulit untuk menghirup oksigen. Tenggorokannya pun mulai kering.

"Ret, tangan gue sakit," rintih sang gadis.

"Lo gak boleh nyerah!"

Sekali lagi Val mengedarkan pandangan. "TOLONG! SIAPA PUN TOLONG KAMI!" teriaknya dengan suara yang lebih keras. Dia menggigit bibir dengan kuat, berharap dapat membantu menahan rasa lelah.

"Ret …, gue gak mau mati … tapi gue siap menerima apapun yang terjadi."

"Ret, gue takut kalau gue gak sempat ngucapin ini, tapi gue mau bilang ter--"

"Lo harus hidup kalau mau bilang itu." Itu bukan suara Val, tetapi berasal dari lelaki yang berdiri di sebelahnya.
Si pemilik suara mengulurkan tangan. "Raih tangan gue!"


Dengan tenaga yang tersisa, gadis itu meraih tangan si lelaki. Val sedikit terkejut, tetapi dia mencoba mengabaikan. Dia juga mengerahkan seluruh tenaga. Hingga mereka berhasil menarik perempuan itu.

Terlihat sangat syok, perempuan tersebut tidak mengontrol pernapasan. Ragi yang menyadari, langsung menghampiri. "Megan, lo harus tenang--"

Tidak terduga, dengan air yang membasahi mata, Megan langsung memeluk Ragi dengan kencang. "Gue takut," lirihnya dengan bahu yang bergetar.

Ragi terkesiap, tetapi dia memilih untuk diam. Sedangkan Val? Dia memilih untuk merapatkan bibir. Bohong jika dia berkata tidak cemburu. Ingin hati protes, tetapi apa daya, dia bukan orang yang spesial untuk Ragi.

Dia berjalan mendekati mereka sembari mengelus pundak Megan. "Tenang … lo sudah di tempat aman."

Val memberi isyarat kepada Ragi untuk segera ke uks.

***

Seorang lelaki berjalan mendekati perempuan yang baru saja keluar dari ruang uks. "Bagaimana dengan kondisi, Megan?"

"Dia sudah gak apa-apa kok. Dia cuma perlu istirahat."

Ragi menghela napas panjang. "Syukurlah kalau begitu."

"Ragi …," panggil Val dengan tatapan kosong. Sesuatu berhasil mengusik pikirannya. Mungkin Ragi bisa menjadi sumber jawaban.

"Iya?"

"Maaf, kalau gue nanya soal ini. Tapi, gue benar-benar butuh jawaban."

"Apa itu?"

"Hmm …, apa benar Hani suka membully anak-anak sekolah?"

Lelaki itu bungkam.

"Ragi?" panggil Val berusaha mendapatkan fokus si pemilik nama.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"

Val berpikir sejenak. Apakah dia harus menceritakan yang sebenarnya?

Setelah peperangan batin yang cukup singkat, ia pun menarik napas panjang. Keputusannya sudah bulat. "Yang terjadi pada, Megan, ada sangkut pautnya dengan, Hani."

Ragi seketika mengerjap. Senyumannya menjadi kaku.  "Bisakah kita mengganti topik pembicaraan?"

Val menatap si lelaki dengan penuh teliti. "Baiklah. Ayo, kita ke kelas."

Namun, Ragi lebih dulu mencekal tangan si gadis. Dia langsung menarik Val pada sebuah bangku, dan memaksanya untuk duduk. "Lo tunggu di sini," perintahnya yang langsung pergi meninggalkan gadis itu.

Val hanya memilih untuk mengikuti titah tersebut. Tidak perlu menunggu lama, Ragi kembali dengan kotak P3K di tangan.

"Itu untuk apa?" tanya Val ketika lelaki itu duduk di sebelahnya.

Bukannya menjawab, Ragi malah merendahkan tubuh dari Val. "Sini tangan lo."

"Untuk apa?"

Tidak mau menunggu, Ragi langsung menarik tangan Val. "Tangan lo juga perlu perhatian. Kalau gak diobati, nanti bisa tambah parah." Dia pun mengeluarkan plester dari kotak yang ia bawa.

Val baru menyadari bahwa tangannya terluka--akibat insiden tadi. Dia pun tersentuh melihat perlakuan lelaki itu. Tanpa ia sadari, bibirnya tidak berhenti tersenyum melihat Ragi.

"Jangan terlalu sering senyum-senyum sendiri, entar lo dikira aneh," ejek Ragi yang masih fokus dengan aktivitasnya.

Val dibuat terkekeh, tetapi kekehan itu seketika tersendat, ketika menerima perlakuan Ragi padanya.

"Obat dari gue," ucap Ragi sebelum mengecup tangan perempuan yang ada di hadapannya.

What?!!!! Val membelalak tidak percaya.

"Rety." Ini bukan suara Ragi. Lalu siapa?

Val dengan panik menarik genggaman lelaki itu, dan memangkas jarak di antara mereka.

"R--Rey?" tanya Val dengan ekspresi gugup.

Berbeda dengan Val, Ragi malah terlihat lebih santai.

Sedangkan Rey dengan ekspresi dingin berkata, "Lo dipanggil guru BK."

"B--baiklah." Tanpa perlu bertanya lagi, Val langsung bangkit dari duduknya. Dan dengan buru-buru meninggalkan kedua lelaki itu.

»☆«
.
.
.

TBC

Yuhuuuu!!!

I'm coming!

Lumayan panjang ya?

Sorry, kalau aku lama-lama updatenya Q_Q

Kalian boleh marah kok >o<

Aku itu kadang suka lupa sama dunia wattpad kalau dah sibuk.

Jadi, kalian boleh kok marah²

Spam komen supaya cepat update

Gak usah sungkan

Aku orangnya emang harus digituin supaya sadar ≧﹏≦

So, jangan lupa vote + komennya ya~~ O(∩_∩)O

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang