Tangisan Sang Ratu (b)

1.2K 71 15
                                    

-•°•-
.
.
.

"Setiap kelas wajib berpartisipasi dalam acara ini. Jadi, kalian harus memberikan penampilan terbaik." Seorang wanita berkacamata, menatap ke segala penjuru ruangan itu. Mereka baru saja berunding perihal acara yang akan mereka tampilakan di acara tersebut, yaitu teater.

"Jadi, setelah sedikit berunding dengan ketua kelas. Kami sudah menentukan cerita apa yang akan kalian bawakan," sambung wanita yang bernotabe sebagai wali kelas.

"Tapi, terlebih dahulu kita harus menentukan siapa tokoh pemain yang akan ikut serta." Wanita itu sengaja memberi jeda pada kalimatnya.

"Siapa yang berkenan menjadi tokoh pasangan utama nanti?" tanya wanita itu sembari mengedarkan pandangan ke para penghuni kelas.

"SAYA, BU!" Suara yang penuh antusias, mengisi seluruh ruangan. Membuat semua mata tertuju padanya. Siapa lagi kalau bukan Hani.Wanita yang terkenal akibat visualnya, terlebih bakat akting yang tidak bisa dipungkiri sebagai calon idol. Semua mata yang menyaksikan itu, memberi anggukan tanda setuju. Namun, tidak dengan Val. Di dalam hati, dia sangat menolak akan hal itu, tetapi ia memilih untuk diam.

"Tapi, kalau boleh ... saya ingin, Ragi, menjadi lawan main saya. Saya rasa kami pasti akan terlihat sangat cocok. Bolehkan, Bu?" Matanya beralih melirik ke arah si pemilik nama. Terlihat Ragi sedikit terkejut. Bukan hanya dia, tetapi Val juga merasakan hal yang sama.

Wanita yang berdiri di hadapan para murid, memeberikan senyuman. "Ibu rasa, itu ide yang bagus."

"Kalian memiliki visual yang baik. Jadi, ibu rasa kalian berdua cocok. Bagaimana menurut kamu, Ragi?" Kini wanita itu yang melirik ke arah lelaki itu.

"Maaf, Bu, tapi saya tidak pandai di bidang itu. Saya pikir ... lebih baik, memberi kesempatan ke pada yang lain. Siapa tahu ada yang tertarik," tolaknya secara halus.

Wanita itu mengangguk pelan, sebelum kembali mengedarkan pandangan ke para murid lainnya. "Jadi, ada yang bersedia?"

Suasana seketika hening. Tidak ada yang berani mengajukan diri, walau sebenarnya banyak yang menginginkan peran itu--merebutkan posisi bersama Hani. Semua bukan berdasar kenginan mereka, tetapi mereka sudah lebih tahu konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan ketika berani mengajukan diri. Hani, akan membenci siapa pun yang menghalangi rencananya.

Wanita itu menarik sebelah alis. "Tidak ada yang mau?"

Lagi-lagi ruangan hening.

Kini wanita itu kembali melirik ke arah Ragi. "Bagaimana, Ragi, kamu bisa lihat sendiri. Tidak ada yang mau memainkan peran itu. Kalau alasan kamu menolak karena itu, menurut ibu, kamu bisa sedikit latihan."

Namun, Ragi hanya memasang muka datar. Ia tetap kekeuh dengan keputusannya. Setelah jeda beberapa detik, ia pun menoleh ke arah titik yang tidak terlalu jauh darinya.

"Hmm ... maaf, Bu. Saya punya saran. Sepertinya lebih baik kalau, Rety, yang memainkan peran tokoh utama wanitanya?"

Val membelalak, dan membalas tatapan lelaki itu dengan tidak percaya. "M-maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya rasa, mereka berdua terlihat sangat cocok," ucapnya secara spontan. Namun, percayalah, setelah itu dia merutuki ucapan yang keluar dari mulutnya. Dia dapat melihat, Ragi melepas pandangan darinya.

Dia kecewa ....

Val merapatkan bibir. Dusta yang ia ciptakan, dengan pahit harus ia telan.

"Ragi, apa salahnya kalau, Hani? Kamu dapat melihat sendiri, banyak yang setuju dengan kalian berdua," timpal wanita itu.

Si pemilik nama menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Berikan saya waktu untuk berpikir." Bagaimanapun juga, dia tidak boleh salah mengambil keputusan.

***

Seorang perempuan dengan langkah berat, menyeret tas ransel dengan salah satu tangannya. Bukan karena lelah, atau pun beban pada tas, melainkan apa yang sedang ia pikirankan. Kejadian tadi, masih saja terus terngiang di kepalanya.

Sebuah tangan terulur dengan ramah. Diiringi dengan senyum merekah. Namun, entah kenapa, senyuman itu terlihat seperti hinaan.

"Rety, makasih buat saran lo tadi," ucap si pemilik tangan menunggu uluran balas dari gadis di hadapannya.

Val tersenyum kaku, tanpa membalas uluran tersebut. "Iya, sama-sama." Matanya juga enggan menatap lawan bicara.

Menyadari suasana yang terjadi, Hani menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. "Ucapan lo tadi, setidaknya sedikit membuktikan, ucapan lo waktu itu."

Alih-alih Val menatap perempuan itu, dan menautkan kedua alis. "Ucapan apa?"

"Maaf Hani, gue gak ada menaruh perasaan sama, Ragi. Gue hanya mau bertemanan sama dia doang kok." Hani berlagak seolah dia adalah Rety.

Val merapatkan bibir.

Hani melipat kedua tangan di depan dada seraya menatap perempuan di hadapannya dengan penuh tantangan. "Karena lo setuju gua sama, Ragi. Bagaimana kalau bantu gue, buat bujuk dia?"

Val merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap langit-langit, seraya menghela napas panjang. "Dasar, Nenek Lampir, banyak maunya!" gerutunya seraya berguling-guling di kasur. Bantal dan selimut menjadi pelampiasan gadis itu.

Hingga suara dering telepon berhasil mengusiknya. "Berisik!" Kesal Val seraya mengambil benda canggih tersebut.

Rey: Siap-siap, mulai besok, lo resmi jadi pacar gue.

-•°•-
.
.
.

TBC

Maaf, seharusnya ini aku publish sebelum UTS.

Tapi, aku lupa kalau udah ada nulis beberapa part.

Maafkan atas kepikunanku.

Jadi, aku publish sekarang deh.

Karena udah ada draft setelah ini, jadi aku bisa up tanpa mengganggu waktu UTS aku.

But, aku tunggu 50 vote buat next kilat 😘

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang