21.Hari Bersama Alan

90 10 0
                                    

Jam pulang sekolah telah tiba semua murid berhamburan ke luar kelas,koridor penuh sesak karena semua orang berlomba-lomba keluar dari ruang terkutuk seperti kelas.

Anin yang dikirimin pesan oleh Ari untuk tetap tunggu di kelas, menunggu sekolah sedikit lenggang dan sepi.Setelah hampir menunggu 20 menit yang ditunggu datang juga.

Tanpa banyak bicara Ari langsung mendorong kursi roda Anin disampingnya masih setia Sesil untuk sukarela membantu Anin.

"Makasih ya Sil"Ucap Anin begitu sudah masuk mobil.Sesil mengangguk singkat sambil melambaikan tangan ke arah Anin.

Mobil berjalan, Ari tidak juga bicara.Anin pikir Ari sedang stres saat ini dengan masalah yang dihadapinya.

"Kak Ari"Panggil Anin.Ari hanya menoleh sebenarnya lalu kembali menatap kedepan.

"Gimana udah dapet keputusan jadi pergi apa enggak?"Tanya Anin

"Udah"
"Apa? "
"Ga jadi pergi"
"Kenapa? "
"Lo-nya kan ga ada yang nganter"

Anin langsung memeluk Ari dari samping, Ari yang sedang menyetir berusaha mengontrol keterkejutannya,karena jika ia lepas kontrol akan membahayakan banyak orang.

"Kak aku diantar Alan aja,dia bersedia.Kakak pergi aja"Karena Ari tidak kunjung bicara akhirnya Anin yang kembali bicara.

"Serius? "Kata Ari kembali terkejut.

Anin mengganggu cepat dengan posisi kepalanya masih berada di dada bidang Ari.

"Makasih"Ucap Ari tulus, ia mencium singkat puncak kening Anin.

"Maaf ya kak, sudah banyak merepotkan kak Ari"Kata Anin sambil membenarkan posisi duduknya.

"Gapapa"Kata Ari. Hari ini keduanya tersenyum,tidak ada perdebatan di antara mereka, selamanya atau mungkin hanya sehari saja.

...............

Anin duduk di balkon dengan kursi rodanya. Ia dapat bernafas lega,karena tadi saat makan Ari sudah menceritakan semuanya ke papahnya dan beruntungnya papahnya bisa mengerti dan mengizinkan Ari pergi. Anin bangga dengan papahnya, ia sangat bijak menurut Anin.

Tidak lama kemudian ponsel Anin yang di letakan di nakas berbunyi.Anin berusaha mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Setelah diambil,ponsel yang masih berbunyi itu memperlihatkan sederet angka yang tidak di kenal.Dengan keraguan Anin mengangkat panggilan itu.

"Halo"Suara itu terdengar karena Anin tidak kunjung bicara.

"Siapa? "Kata Anin to the point

"Alan"Katanya sambil tersenyum walau Alan tau senyumanya tidak bisa di liat Anin.

"Dapet nomer gue dari siapa? "
"Gue yakin lo udah tau"
"Caca? "
"Iya"

Selanjutnya hening beberapa saat,sebelum Alan kembali berbicara.

"Anin, gue ga tau apa yang membuat lo mau diantar-jemput gue, entah lo terpaksa atau enggak, gue ga ngerti. Gue cuma mau ngasih keringanan kalau lo mau diantar ke sekolah sama kak Ari gapapa kok, baru kalau di antar ke rumah sama gue. Karena gue ga mau,lama-lama sama gue bikin lo tambah benci sama gue"
"Kak Ari mau ke gunung Bromo, besok berangkat "
"Oh ya? Jadi sekarang gue ngerti kenapa lo mau, aduh gue terkesan kaya malaikat yang datang pada waktu yang tepat.Bangga ey jadinya"
"Ga usah pura-pura ga tau dah, lo kan yang merencanakan semuanya,lo kan yang diminta kak Ari buat bujuk gue"

Anin masih saja berfikir negatif,karena ia tidak percaya dengan kebetulan,tambahan lagi Ari dan Alan saling kenal karena waktu itu Alan tidak sengaja ketemu Ari dan Anin di sebuah pusat perbelanjaan.

"Sumpah nin, gue ga tau apa-apa"
"Yang bener? "Kata Anin mulai ragu dengan tuduhannya sendiri.

"Iya nin,"Kata Alan dengan suara melembut,sepertinya memang Alan tidak berbohong.

Anin tersenyum,ternyata kakaknya memang serius berkorban demi dirinya bukan cuma sandiwara yang  seolah memperlihatkan Ari manusia yang tersakiti.

"Yaudah besok gue jemput ya nin"
"Iya"

"Lan"Panggil Anin setelah beberapa saat hening kembali.
"Iya"
"Makasih ya"Kata Anin tulus.
"Sama-sama "

Tanpa ada yang mengetahui bahwa keduanya saling tersenyum tulus. Senyum tulus yang sudah lama tidak terlihat di bibir Anin. Dan senyum tulus Alan yang dapat membuat siapa saja bisa jatuh cinta.

...............

Keesokannya Alan bener-benar bangun lebih pagi dari biasanya,entah seperti ada alarm ajaib yang bisa dengan mudah membangunkan Alan.

Dira yang melihat kakaknya sudah siap sejak pagi tersenyum senang, dengan begitu ia tidak takut kesiangan karena Alan telat menghantarnya.

Namun harapan itu sirnah ketika Alan dengan entengnya berkata tidak bisa mengantar Dira karena sudah ada janji menjemput orang lain.

Awalnya Dira tidak terima, tapi setelah sedikit berdebat dan mamanya membela Alan, Dira memilih dihantar papahnya.

...............

Alan tersenyum,pagi ini sangat cerah baginya. Apalagi saat melihat Anin yang tengah menunggu di teras depan rumah, senyum Alan kembali terukir.

"Orang tua lo mana? "Kata Alan menghampiri Anin.

"Sudah berangkat kerja," Jawab Anin seadanya.

Dengan dibantu asisten rumah tangga di rumah Anin untuk menaiki mobil Alan,mereka berangkat.

"Udah sarapan? "Tanya Alan basa basi.

"Udah"Singkat,sudah biasa Anin menjawab seperti itu.Padahal Alan mengharapkan Anin berbalik bertanya.

Yasudah,Alan hanya mengangguk saja, harapan tidak terkabul.

............

Anin memegang kartu peserta UAS dengan tatapan kosong. Baru saja kartu itu di bagikan semenit sebelum bel istirahat berbunyi. Sudah ingin UAS saja, itu artinya sudah hampir dua bulan Anin bersekolah di SMA Mentari dan sudah hampir satu bulan Anin menyandang gelar Ketua Osis. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, tidak ada yang indah dua bulan terlewat, semuanya monoton.

"Mau ke kantin? "Pertanyaan Alan membuyarkan lamunan Anin.

"Gue ga mau lo repot"

Alan tersenyum,ia mengangguk singkat. Tentu saja ia mengerti mengapa Anin tidak ingin ke kantin. Kantin yang berada di lantai bawah jelas saja akan merepotkan Alan.

"Ingin nitip sesuatu? "Tanya Alan lagi.
"Enggak,gue bawa bekel"

Alan lagi-lagi menggangguk dan tersenyum. Jika di pikir-pikir Anin lebih suka mengatakan tidak dari pada iya.

"Yaudah, nanti gue balik lagi buat nemenin lo"

Alan pergi, meninggalkan Anin yang benar-benar sendiri di kelas.

Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang