14. Menunggu

3.2K 402 19
                                    

Tugas Biru sekarang tinggal menunggu kematian.

•••

"Kanker nasofaring yang diidap oleh Biru, sudah memasuki stadium dua. Hal itu disebabkan karena jaringan sel kanker dalam dirimu sudah menyebar ke satu kelenjar getah bening yang ada di balik faring-mu. Yang artinya kamu, saya, dan rekan-rekan saya yang selama ini ikut membantu dalam menangani Radioterapi dan Kemoterapi-mu, kita semua harus berusaha lebih keras lagi," terang seorang pria berjas putih, dengan tag nama Fajar Samudera, SpPD, KHOM., mencoba menjelaskan pada Biru dan Aliya.

Dengan nada bicara yang datar dan terdengar tanpa emosi, Biru bertanya, "Jadi maksud Dokter, udah nggak ada harapan lagi bagi saya untuk hidup lebih lama?"

"Biru, kamu bicara apa, sih!" sentak Aliya, menyela. Aliya memang paling tidak suka kalau Biru sudah berkata yang aneh-aneh pasal penyakitnya.

Namun sayang Biru tetap mengabaikan sang Bunda. Fokus Biru saat ini hanya tertuju pada Dokter Fajar. Tatapan Biru seakan menuntut Dokter Fajar untuk menjelaskan padanya lebih detil, tanpa ada satu informasi pun yang ditutup-tutupi atau disembunyikan darinya.

Terhitung sudah dua tahun semenjak Biru divonis mengidap kanker nasofaring. Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Penyakit kanker nasofaring sejauh ini hanya dijumpai di beberapa negara, dan salah satunya adalah Indonesia. Selain itu, kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang dapat diturunkan secara genetik. Seperti Biru yang mengidap penyakit tersebut karena faktor keturunan dari ayahnya.

"Tidak, Biru. Maksud saya bukan seperti itu," ralat Dokter Fajar, cepat-cepat. "Harapan hidup akan selalu ada untuk kamu. Bahkan untuk yang sudah stadium empat pun tetap masih memiliki harapan untuk hidup."

Sejenak Aliya menatap sendu putranya dari samping. Hingga sesaat kemudian ia berupaya untuk tersenyum. "Tuh, Biru, kamu dengar sendiri, kan, apa kata Dokter Fajar? Bunda juga yakin kamu pasti akan sembuh."

"Tapi percuma aja, Bun. Ujung-ujungnya penyakit ini juga akan tetap membuat Biru mati, sama halnya seperti Ayah dulu. Tugas Biru sekarang tinggal menunggu kematian."

"Harus berapa kali Bunda bilang ke Biru? Kalau umur bukan ditentukan oleh penyakit. Umur cuma ada di tangan Tuhan. Nggak ada satu pun manusia yang mampu menerka-nerka."

Biru menunduk, tidak menjawab. Tak lama air matanya terjatuh sampai ke lantai, bersamaan dengan kedua matanya yang berkedip. Bukannya Biru tidak percaya akan apa yang dikatakan bundanya, Biru hanya tidak ingin menaruh harapan pada hal yang sifatnya sia-sia. Kini Biru tidak bisa mengelakkan keadaannya lagi. Terlebih di saat rasa sakitnya semakin nyata ia rasakan.

"Kenapa Yuni harus meninggal, sih? Kan kasihan Putra jadi ngurus Yura sendirian. Kasihan juga Rosi, soalnya Aris jadi depresi gitu ditinggal Yuni. Kenapa sinetronnya jadi sedih begini, sih. Ah, Tante sebel nontonnya, Kejora!"

Sepanjang sinetron Orang Ketiga berlangsung, sepanjang itu pula telinga Kejora terus mendengung mendengar ocehan Naina tidak berhenti-berhenti, saking terbawa dengan suasana alur sinetron tersebut.

"Iya, Tan, nyebelin juga, ya lama-lama," Kejora, yang memang pada dasarnya hanya ikut-ikutan menonton saja, berusaha untuk menanggapi sedikit-sedikit.

Karena jujur, ini pertama kalinya Kejora menonton sinetron. Kalau di rumah malah Kejora nyaris jarang sekali menonton televisi. Saking jarangnya dapat dihitung jari, mungkin. Kejora yang lebih sering sendirian di rumah, lantaran tantenya sibuk bekerja, lebih suka mendengarkan instrumental musik piano yang tersimpan di ponselnya, alih-alih menonton televisi tanpa ada yang menemani.

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang