42. Saatnya Berhenti

2.3K 359 81
                                    

Apa mungkin ini udah saatnya gue berhenti menaruh harap sama Rasi, karena selamanya kita cuma akan jadi sahabat?

•••

"Biru, kamu harus ke rumah sakit!" panik Rasi yang tidak terelakkan lagi dari gurat wajahnya.

Biru menggeleng, menolak. Namun dengan cepat ia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang memang biasa ia bawa ke mana-mana untuk persiapan kalau-kalau sampai kejadian hal seperti ini pada waktu yang tidak terduga.

"Gue anter lo pulang aja, ya?"

"Nggak! Kita harus ke rumah sakit, Biru. Aku takut kamu kenapa-napa."

"Aku nggak apa-apa, Sayang. Ini paling cuma kecapean aja."

Kalimat Biru kali ini seketika membuat Rasi terhenyak sesaat. Membuat Rasi seketika tidak fokus lagi pada kepanikannya dan benar-benar meragukan pendengaran telinganya sendiri. Pasti ada yang salah! "Kamu tadi bilang apa?" katanya masih belum yakin.

"Kenapa? Kedengerannya aneh, ya, kalau aku pakai bahasa aku-kamu gitu?" tanya Biru serius, usai membersihkan darahnya yang sedikit demi sedikit mulai berhenti mengalir. "Kan, bener aja nggak pantes. Gara-gara Leon, nih!"

"Bukan-bukan itu yang aku maksud," ralat Rasi, yang demikian membuat Biru bengong lagi.

"Terus yang mana?"

Setelah diam sebentar, dengan sangat kaku akhirnya Rasi mengulang pelan. "Sa-yang?"

"Oh!" Biru mengerti. Lalu tersenyum penuh arti. "Nggak salah, kan?"

Rasi tersenyum tipis. Sampai kemudian barulah ia menggeleng, tidak merasa ada yang salah dengan panggilan baru yang Biru berikan untuknya itu.

Awalnya Biru bicara seperti itu memang bermaksud untuk mengalihkan perhatian Rasi. Mengalihkan topik, supaya Rasi tidak perlu mengkhawatirkan dirinya lagi. Akan tetapi setelahnya, setelah mengucapkan kalimat itu maksudnya, Biru rasa ini adalah waktu yang tepat baginya untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan pada gadis itu.

"Aku tahu, mobil aku emang bukan tempat yang romantis. Tapi nggak tahu kenapa, aku merasa ini waktu yang tepat buat aku bilang semuanya ke kamu."

Sesaat dahi Rasi berkerut. "Bilang apa?"

"Perasaan aku." Biru diam, menjeda. Sebelum akhirnya menatap kembali manik mata Rasi yang juga tengah menatapnya sejak tadi. "Aku mau kamu jadi pacar aku, Ras."

🌩

"Tan, Bintang cari Biru dulu, ya. Buat siapin mobilnya."

Di toilet tidak ada, di mana-mana tidak ada. Sampai terakhir di sebuah lorong dirinya melihat siluet seseorang, Bintang berhenti dan segera memutar langkahnya. Ralat, sepertinya Bintang salah. Bukan seseorang, melainkan dua orang yang menyatu dalam satu rengkuhan.

Tadinya Bintang ingin menghampiri. Akan tetapi isak tangis Rasi yang semakin menggema jelas di telinganya, membuat niatannya urung. Tidak. Ia tidak akan mampu menahan ini semua jika melihatnya dari dekat.

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang