02. Note Buat Bintang

6.9K 664 33
                                    

"Lo suka sama dia?"

•••

Tiiinnn tiiinnn

Bintang menekan klakson motornya kuat-kuat. Membuat Rasi yang mendengarnya di dalam rumah, sontak sesegera mungkin menghabiskan sarapannya dengan terburu-buru. Bahkan setelahnya gadis itu sudah beranjak berdiri dari kursi meja makan, dengan tangan yang bergerak cepat meraih tasnya, di saat pipinya masih mengembung dikarenakan setengah potongan roti, yang dipaksa masuk itu, memenuhi rongga mulutnya.

"Ma, aku berangkat dulu, ya..." pamit Rasi dengan kalimat yang terdengar tidak jelas, kemudian berlari menuju pintu utama.

Dilihatnya Bintang yang sudah stand by menunggangi Cinta―ninja merah kesayangan Bintang―menunggunya di depan gerbang rumahnya yang terbuka.

Meskipun Rasi dan Bintang tidak bersekolah di satu sekolahan yang sama, mengantar-jemput Rasi tiap hari memang sudah menjadi tugas rutin sekaligus kewajiban bagi Bintang. Kecuali, ketika Biru kadang kala menjemputnya lantaran ingin sekalian jalan sepulang sekolah. Barulah di hari-hari tertentu itu Bintang libur menjadi tukang ojek Rasi.

"Kamu telat!" tandas Bintang.

"Bukan aku yang telat, tapi kamunya yang kepagian tau!" Rasi membalas, tidak mau kalah.

Bintang berdecak. "Ya udah, naik cepet."

Selain menyebalkan, Rasi memang tidak pernah terima jika dirinya disalahkan. Walau kenyataannya dia memang salah.

🌼

Belum ada satu menit bel masuk berdering, Pak Handoko, guru Bahasa Indonesia yang menjadi mata pelajaran pertama kelas Bintang hari itu, berjalan memasuki ruang kelas.

"Hari ini kita belajar untuk bersyair, ya," tutur beliau tiba-tiba. Membuat anak-anak didiknya sontak memikir yang melenceng lantaran tidak menangkap maksudnya.

"Kita belajar nyanyi gitu, Pak?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Oskar, salah satu murid di kelas itu sekaligus teman sebangku Bintang.

Bukan cuma Oskar, sebenarnya anak-anak yang lain pun berpikiran seperti itu ketika Pak Handoko menyebutkan kata syair. Ya, tapi tetap saja sebodoh-bodohnya mereka, mereka tidak mengentarakan kebodohan mereka dengan menyuarakannya seperti Oskar tadi.

Sambil berdecak, Pak Handoko hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bersyair yang Bapak maksud itu kalau sekarang bisa dibilang berpuisi. Oskar-Oskar, bagaimana, sih, kamu ini."

"Tau lo, Kar!" omel Bintang. "Kalau goblok jangan keliatan banget, dong. Kan gue jadi ikut malu."

"Sudah-sudah. Cepat keluarkan kertas selembar, lalu Bapak akan berikan kalian waktu selama lima belas menit untuk membuat karangan puisi dengan tema bebas."

"Tentang cinta boleh, Pak?" Kini Nino yang bertanya dengan percaya diri. Yang sebetulnya, pertanyaan itu juga sempat terlintas di kepala Bintang sebelumnya.

"Hm..." Pak Handoko nampak berpikir sejenak. "Boleh, lah, boleh. Yang terpenting hal itu bisa membuat tulisan kalian menjadi hidup."

"Nggak bisa dong, Pak. Emangnya puisi kita dikasih nyawa bisa hidup begitu. Ada-ada aja Bapak, nih." Untuk yang kedua kalinya dalam waktu kurang dari lima menit ini, Oskar mengatakan hal yang membuat Pak Handoko lagi-lagi menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

Bintang membuka resleting tasnya. Mengeluarkan buku tulis Bahasa Indonesianya, namun tak lama sesuatu yang lain di dalam tasnya berhasil memancing perhatiannya. Yakni selembar note berwarna kuning terang, yang seingatnya telah ia buang kemarin. Terbukti dengan tulisannya yang sama dengan yang ia baca kemarin, juga kondisinya yang jelas-jelas masih membekaskan remasan tangannya. Tapi kalau memang benar note itu adalah note yang sama dengan yang ia buang kemarin, bagaimana bisa sekarang note itu ada dalam tasnya?

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang