"Tolong, ya, tolong. Lo itu di rumah gue numpang. Jadi jangan pernah naruh barang-barang yang nggak pernah gue pake seenaknya!"
***
"Kamu makan, habisin. Terus jangan lupa minum obat, ya, Nak."
Biru mengangguk. "Iya, Bun."
"Jingga dan Nila bilang, kemarin kamu sempat mimisan lagi?" Aliya bertanya, kemudian.
"Cuma sedikit darahnya," jawab Biru yang enggan membuat khawatir, tanpa berani menatap langsung mata bundanya.
Usai meletakkan nampan yang membawa segelas air putih dan obat-obatan di atas meja belajar Biru, Aliya mengusap puncak kepala putra sulungnya yang saat itu tengah duduk di kursi meja belajar yang sama, menghadap layar laptop yang menyala. Namun beberapa saat Aliya sempat terkejut dalam diam, ketika banyak helaian rambut Biru yang meluruh di tangannya.
Sebagai ibu, tentulah Aliya tidak mungkin memberitahu itu pada Biru. Aliya memilih menyembunyikan rontokan rambut Biru di tangannya, ke dalam saku kardigan yang ia kenakan saat itu. Aliya tidak ingin semangat Biru untuk tetap hidup memudar lagi dan lagi dengan mengetahui keadaan ini.
Sambil berupaya menutupi matanya yang mulai menggenangkan air, Aliya mengangguk seakan percaya. "Ya sudah, kalau gitu kamu jangan terlalu lelah, ya. Kalau bisa jam 7 nanti, Bunda mau kamu langsung istirahat."
Sehingga ketika dirinya sudah benar-benar berada di depan pintu kamar Biru, barulah tetes demi tetes air mata yang sejak tadi ia tahan-tahan berjatuhan menapaki kedua pipinya. Aliya menangis dengan kedua kaki yang tetap berjalan gontai menuju kamarnya. Menahan sesak dan isakan tangisnya secara bersamaan agar tidak terdengar oleh Biru.
Aliya mungkin bisa terlihat tegar di depan Biru. Menguatkan dengan berbagai macam cara. Tetapi sungguh Aliya tidak mungkin bisa mempertahankan ketegaran itu saat Biru tidak melihatnya. Bagaimana bisa Aliya tetap bertahan untuk terlihat tegar, di saat dirinya sama sekali tidak bisa membuat keadaan menjadi lebih baik?
Ini bukan pertama kalinya. Aliya tidak bisa lagi menggantungkan harapannya hanya pada sebuah mindset yang seolah mengatakan semua baik-baik saja, sedangkan kenyataannya tidak. Dulu saat ayahnya Biru mengidap penyakit yang sama, Aliya percaya pada mindset-nya. Aliya yakin semua akan baik-baik saja. Tapi keyakinan itu luntur ketika kenyataannya hal tersebut tidaklah berguna. Terlebih ketika pada akhirnya beliau tetap pergi meninggalkannya dan Biru sendirian.
Mendapati istrinya menangis saat masuk kamar, seketika Erland, ayah tiri Biru yang juga merupakan ayah kandung Jingga dan Nila, terheran-heran karenanya. "Al, kamu kenapa nangis, sayang?"
"Biru, Yah... Bunda nggak mau kehilangan Biru," lirih Aliya. Membuat Erland yang saat itu sedang duduk berselonjor di atas ranjang, langsung beranjak dan memeluknya. "Tadi rambut Biru rontok di tangan Bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Ada Selamanya 1&2
Teen Fiction'Selamanya' hanya kata penenang. Hanya sebuah peralihan kata bagi mereka yang tidak percaya adanya sebuah akhir. Karena pada kenyataannya di semesta yang mudah rapuh ini, tak ada yang kekal. Tak ada yang abadi. Dan tak ada... Selamanya. Tentang sela...