35. Gengsi

2.3K 350 103
                                    

Jangan lupa komen yang bwanyaakk

GAK KOMEN = GAK UP!

***

Mobil-mobil apa yang bikin kesel? Mo bilang cinta, tapi gengsi!

•••

"Aw! Sakit!"

"Iya-iya, maaf," pinta Kejora. "Ini gue udah pelan-pelan padahal."

Mereka berdua duduk di salah satu pinggir ranjang UKS. Dengan kesabaran sepenuh hati, sangat pelan-pelan sekali Kejora berusaha mengobati luka di ujung bibir Bintang menggunakan sebuah kapas yang sudah ditetesi obat merah. Begitu fokus Kejora memerhatikan detil luka Bintang. Hingga ketika pandangannya bergeser sedikit saja, detik itu juga fokusnya membuyar.

Dada Kejora berdegup kencang, hampir loncat dari kurungan rusuknya. Ketika secara tidak sengaja melihat bibir Bintang untuk pertama kalinya dari jarak yang sedekat ini. Diam-diam, sambil berlagak mengobati, Kejora mencuri kesempatan dengan menyentuh sedikit bibir itu dengan ujung ibu jarinya. Meskipun tidak disangka hal tersebut malah membuat jantungnya kian mendegup tak terkendali. Membuat Kejora rasanya ingin berteriak, saking senangnya bisa memegang bibir Bintang yang ternyata selembut itu.

Plak

Kejora menampar pipinya sendiri, sambil membatin jangan mesum Kejora, jangan mesum!

"Soal kemarin, lo nggak usah mikir yang mecem-macem."

Tuturan Bintang, sesaat membuat Kejora melongo. "Ha?"

"Rasi sama gue udah sahabatan dari kecil. Bahkan dari kami masih bayi. Lagi pula, Rasi juga udah milik Biru. Dia cinta banget sama Biru. Jadi nggak ada alasan buat lo untuk salah paham," jelas Bintang, tanpa mau menatap mata Kejora.

Seketika Kejora menautkan alisnya. "Dalam rangka apa lo ngejelasin ini ke gue?"

🌩

Hari-hari berlalu. Melesat cepat bagai senapan angin berpeluru. Biru masih saja tidak memiliki nafsu makan. Tiap dipaksakan makan, selalu dimuntahkan lagi. Wajahnya pucat pasi. Sehingga Aliya khawatir sekali padanya.

"Biru, kamu makan lagi, ya. Sedikit-sedikit aja, biar nggak keluar lagi makanannya. Habis itu minum obat," ucap Aliya, dengan sesuap bubur polos yang ia sodorkan ke arah mulut Biru.

Biru membuka paksa mulutnya. Menelan paksa kunyahannya. Semua memang harus dipaksakan. Kalau tidak, Biru tidak bisa minum obat. Dan kalau ia tidak meminum obat, penyakitnya tidak akan bisa sembuh. Lagi pula mau sesakit apapun yang dirasakannya saat ini, Biru sudah biasa merasakannya. Efek samping radioterapi yang ia lakukan hampir selalu sama tiap pemulihannya.

Hanya karena ingin berada di sisi Rasi, semangat Biru untuk hidup kembali bangkit. Biru ingin sembuh. Apapun yang terjadi, sesakit apapun yang dirasakannya akibat efek samping penyembuhannya, Biru tidak peduli. Karena yang terpenting, ia bisa sembuh dari penyakitnya. Itu saja jauh dari kata cukup bagi Biru.

Mata Biru selalu berair tiap kali berupaya untuk menelan. Tenggorokannya yang kali ini lebih sering mengeluarkan muntahan dibanding menelan asupan makanan, membuat Biru harus merasa berkali-kali lipat lebih sakit daripada efek radioterapi sebelumnya.

"Ini obatnya." Setelah makan kiranya beberapa suap, tinggal Aliya menyiapkan obat dan minum untuk Biru.

Biru mengambilnya. Menelannya dengan bantuan seteguk air pada tiap butir obat yang diminumnya. Percayalah, penyakit ini tidak hanya menyiksanya dari luar. Tetapi juga menyiksanya dari dalam. Karena penyakit ini Biru banyak merasakan sakit yang tidak terlihat dan diketahui oleh orang lain, termasuk bundanya sendiri.

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang