Cemas tapi gengsi!
•••
Dengan mengendap-ngendap, Bintang berjalan sedikit berjinjit memasuki rumah nya. Tebakannya benar, sang Mama pulang dan saat ini terlihat sedang membaca majalah fashion di ruang televisi sambil menikmati roti selai kacang. Dan sialnya, untuk menuju tangga ke kamarnya, mau tidak mau Bintang harus melewati ruang televisi dulu.
Semampu mungkin Bintang membuat derap langkahnya supaya tidak terdengar.
"Hayo, kebiasaan kalau pulang nggak cium tangan. Main nyelonong aja kayak kucing."
Celetukan Naina seketika membuat Bintang mematung, lalu seketika merasa gagal dan terpaksa harus balik arah lagi di saat dirinya sudah mau mencapai anak tangga.
Bintang mencium punggung tangan Naina. Namun tetap saja Naina masih mendumel, "Giliran lagi ada maunya aja baru, deh, cium tangan."
"Ada maunya gimana, sih, Ma? Tadi katanya Bintang suruh cium tangan."
"Udah-udah. Kalau dibilangin sama orangtua jangan nyahut. Kebiasaan anak jaman sekarang, nih, kalau dibilangin nyahut aja. Oiya, Kejora mana?"
Bintang diam, menatap lantai di bawahnya. Sama sekali tidak berani melihat mata mamanya.
Namun Naina yang kesal, malah menyentak, "Bintang, sahut Mama! Kejora mana? Kamu nggak pulang bareng dia?"
"Ah, gimana, sih. Tadi katanya Bintang nggak boleh nyahut. Giliran Bintang nggak nyahut, diomelin. Jadi serba salah. Nyahut salah, nggak nyahut salah juga."
"Sekarang kan Mama lagi tanya kamu. Bukan lagi bilangin kamu. Emangnya kamu nggak bisa bedain mana pertanyaan dan mana yang enggak? Percuma Mama sekolahin kamu sampai sekarang kalau ngebedain kalimat aja kamu nggak bisa," omel Naina.
Ah, dasar perempuan nggak pernah mau salah!
Andai Bintang berani mengatakan itu pada mamanya, mungkin sudah merdeka hidupnya sekarang. Namun sayang saja tidak. "Iya-iya. Bintang nggak tahu Kejora di mana. Nggak bareng tadi. Bintang ada urusan sendiri."
"Halah, urusan-urusan. Urusan apa, sih, yang anak SMA punya? Paling juga nggak jelas." Naina mengoceh. "Yaudah, sana kamu masuk kamar. Ganti baju."
"Ya Allahu ya Rabb," balik Bintang, pasrah.
🌩
Drt drt.
Ponsel Leon terus bergetar. Menandakan ada panggilan masuk yang perlu diangkat. Saat melihat layar 5 inch itu, tertera; Tante Aliya is calling. Sontak dengan segera Leon mengangkatnya.
"Ada apa, Tan?"
Aliya terisak di seberang sana. "Biru masuk rumah sakit lagi, dan sekarang harus dirawat inap secara intensif. Malam ini Tante minta tolong kamu tidur di rumah Tante, ya, sampai Om Erland pulang dinas besok sore. Soalnya Jingga sama Nila nggak ada yang jaga."
"Iya, Tan. Terus sekarang gimana kondisi Biru, Tan?"
"Tante belum tahu. Biru masih dalam penanganan, Leon," jawab Aliya di sela isaknya.
"Yaudah, kalau gitu, Tan. Nanti pulang kampus, Leon langsung ke rumah Tante."
"Makasih banyak, ya, Leon."
"Sama-sama, Tan." Leon memutus sambungan teleponnya dengan embusan napas berat. Isak tangis Aliya yang ia dengar tadi, entah kenapa membuatnya menjadi cemas, kepikiran akan kondisi Biru yang pastinya lebih buruk. Karena kalau tidak, tidak mungkin tantenya menangis se-sesak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Ada Selamanya 1&2
Teen Fiction'Selamanya' hanya kata penenang. Hanya sebuah peralihan kata bagi mereka yang tidak percaya adanya sebuah akhir. Karena pada kenyataannya di semesta yang mudah rapuh ini, tak ada yang kekal. Tak ada yang abadi. Dan tak ada... Selamanya. Tentang sela...