16. Harapan

2.9K 392 12
                                    

Harapan tetaplah harapan. Sampai kapan pun juga, harapan adalah hal yang semu.

•••

Pagi menjelang. Selama sarapan, diam-diam Bintang terus mencuri pandang pada Kejora. Bukan, bukan mencuri pandang karena Bintang menyukai Kejora. Melainkan karena Bintang merasa aneh. Pasal kejadian semalam, bagaimana mungkin sekarang gadis itu nampak baik-baik saja. Seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.

Bahkan gadis itu berlaku seolah tiada merasa berdosa sedikit pun pada dirinya, padahal kenyataannya semalam ia sudah berani memasuki kamarnya tanpa izin. Yang jelas-jelas hal tersebut dilarang dalam surat perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.

"Eh," panggil Bintang dengan gaya tengilnya yang jauh dari kata sopan―sambil menatap sinis pada Kejora yang duduk di hadapannya.

Di sela-sela kunyahannya, Kejora menyahut santai, "Apa?"

"Lo nggak inget kejadian semalem?" Tanpa basa-basi Bintang langsung bertanya pada intinya.

"Semalem?" Sesaat Kejora mengingat-ingat. "Oh, soal perdebatan kita yang belum selesai? Kenapa? Lo mau lanjutin lagi? Boleh-boleh aja," tantang Kejora yang tidak nyambung sama sekali.

Seketika Bintang mengernyitkan dahi. "Masa lo nggak inget? Semalem, tuh, lo―"

"Kejora, kita jalan sekarang nggak masalah, kan? Soalnya hari ini Tante ada meeting, dan Tente belum siapkan bahan-bahannya." Ucapan Bintang terpotong saat tiba-tiba suara Naina yang baru mendatangi ruang makan dan memang sejak tadi tidak bergabung ikut sarapan bersama Bintang dan Kejora, menyeruak.

"Iya, nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah selesai sarapannya," ujar Kejora seraya buru-buru menghabiskan air minumnya.

Hendak segera menyusul Naina yang sudah berjalan duluan, sesegera mungkin Kejora memakai ransel punggungnya. Kejora ingin bergegas, namun tiba-tiba Bintang menarik tali ranselnya. Sehingga membuat langkah Kejora harus tertahan.

"Istirahat pertama nanti, tunggu gue di belakang sekolah. Lo sendiri aja, nggak usah bawa temen lo yang sama noraknya kayak lo itu."

Mendengar itu, Kejora langsung memutar tubuhnya sedikit. "Mau ngapain? Di belakang sekolah kan sepi. Wah, lo pasti mau ngerjain gue, kan?" tudingnya, menilik Bintang penuh curiga.

Bintang berdecih, seraya menertawakan pemikiran Kejora yang tidak tahunya sedangkal itu. "Ngapain juga gue ngerjain lo? Buang waktu aja."

Maya menyendokkan sarapan di atas piring, yang kemudian ia sodorkan di hadapan suaminya. Lalu menyiapkan satu piring lagi untuk putri bungsunya, Rasi. Meskipun saat itu Rasi masih belum keluar dari kamarnya.

Semenjak Renand, putra pertama Maya dan Januar―yang juga merupakan abang kandung Rasi, memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Swiss, semenjak saat itu pula Rasi mulai diperlakukan persis seperti anak semata wayang oleh kedua mereka.

Melihat Rasi sedang menuruni anak tangga, suasana dingin nan mencekam yang semula menyelimuti area meja makan seketika berubah berbanding terbalik.

"Papa nanti pulang kerja jam berapa? Biar nanti kalau Papa pulang, Mama udah stand by di rumah," ujar Maya.

Januar yang masih menikmati sarapannya tanpa 'rasa', seketika menebar senyum palsu, saat didapati Rasi melalui ekor matanya. "Mama, tuh, memang istri idaman banget, ya. Nanti Papa pulang seperti biasa kayaknya. Kalau pun ada pekerjaan tambahan, dan akan pulang telat, Papa pasti kabari Mama."

Seperti biasa pasangan suami istri itu selalu mahir dalam berpura-pura menjadi orangtua yang sempurna bagi anaknya. Mereka seakan terbiasa berlaku selayaknya hubungan suami-istri yang harmonis. Mereka tidak tahu, kalau semalam, saat mereka bertengkar hebat di tengah rumah, Rasi sudah pulang les dan diam-diam menangis mendengarkan pertengkaran mereka di dalam kamarnya. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya Rasi sudah mengetahui segala drama kepalsuan yang mereka lakoni selama ini. Bahkan mereka juga tidak tahu, bahwa pertengkaran mereka yang semalam sangatlah sulit termaafkan oleh Rasi.

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang