44. Menunggu

2.3K 355 93
                                    

Mungkin ataupun tidak mungkin, Kejora akan menunggu.

•••

Hukuman Naina masih berlanjut. Malam ini Bintang dan Kejora benar-benar sampai tidur di lantai gudang yang hanya dengan beralaskan sebuah karpet pelastik. Kejora membuka matanya perlahan. Mengingat-ingat tidur pukul berapa ia semalam? Sampai matanya terasa seberat ini sekarang. Tapi sepertinya cukup larut.

Detik pertama di saat pandangannya mulai menjelas, mata Kejora langsung mengarah pada pintu yang masih tertutup. Untuk mengetahui apakah pintu itu masih terkunci atau tidak, Kejora beranjak bangkit. Akan tetapi tiba-tiba pergerakannya tertahan, saat ia sadari tangan kanannya masih tersangkut di tangan kiri Bintang.

Sampai ketika tiba-tiba tubuh Bintang mengulat, ketika itu juga Kejora segera kembali merebahkan tubuhnya dalam posisi sedikit miring dengan mata terpejam. Berpura-pura tidur kembali.

Bintang menguap, mengucak matanya dengan tangan kanannya. Berupaya mengumpulkan nyawanya yang hilang selama ia tidur, alias memulihkan kesadarannya. Lalu saat kesadarannya sudah mulai utuh, Bintang malah terkejut sendiri melihat tangan kirinya yang masih menggenggam erat jari-jemari tangan kanan Kejora. Sehingga sebelum Kejora terbangun, ia pun langsung melepaskannya pelan-pelan. Supaya Kejora yang ia tahu masih terlelap, tidak sampai bangun karena itu.

Punggung Bintang terangkat duduk. Dikira sudah pagi. Ternyata masih pukul 3 dini hari. Ponselnya pun ia lihat sudah tinggal 7%. Entah sisa berapa lama lagi umur benda pipih itu, ia tidak tahu. Bintang perkirakan paling kurang dari 15 menit lagi akan mati.

Sementara di sisi lain, Kejora yang tidak betah berlama-lama pura-pura tidur seperti ini, mulai berpura-pura mengulatkan tubuhnya seakan dirinya memang benar-benar baru terbangun dari tidur. "Udah pagi, ya?" tanyanya dengan suara yang berlagak diserak-serakkan.

"Belum," jawab Bintang singkat.

"Pintunya udah bisa dibuka?" tanya Kejora lagi.

"Belum." Jawaban yang sama untuk dua pertanyaan yang berbeda.

Sejenak Kejora mengambil posisi duduk sama seperti Bintang. Hingga detik ini, Bintang masih belum cerita padanya mengenai hal apa yang telah membuatnya menangis semalam. Tidak apa, Kejora akan menunggu sampai tiba saatnya Bintang bercerita. Mungkin ataupun tidak mungkin, Kejora akan menunggu.

Lampu gudang memang jarang sekali ada yang terang benderang. Makanya tidak heran meskipun sudah berjam-jam di dalam tempat ini, baru detik berikutnya Kejora menyadari ada sebuah benda besar, yang tertutup oleh sebuah kain berwarna putih. Kalau tidak ada Bintang yang menemaninya saat ini mungkin suasananya sudah terasa horor bagi Kejora.

Tapi karena terlalu penasaran, akhirnya Kejora bertanya, "Itu apa benda besar yang ditutup kain putih?"

"Piano," cuek Bintang, datar.

"Serius?" tanya Kejora tidak percaya. Kemudian langsung menghampiri benda itu dan menarik kain yang menyelimutinya. "Woah, bagus banget pianonya!" Kejora terpukau. Binar matanya memandang takjub pada sebuah piano dengan design galaxy itu. "Sayang banget, piano sebagus ini ditaruh gudang. Punya siapa?"

"Bokap gue."

"Yang naruh ke gudang siapa?"

"Nyokap gue."

"Kenapa?"

Untuk pertanyaan yang satu ini tidak tahu kenapa Bintang tampak enggan menjawabnya. Sampai kemudian Kejora mengajukan pertanyaan yang lain. "Eh, iya, Tang. Permainan piano lo bagus, tapi kenapa lo nggak ngasih tau nyokap lo tentang bakat lo ini?"

Tak Ada Selamanya 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang