35

402 15 0
                                    

Akhirnya Alfa pun menjalani operasi. Sudah ada papanya, Ia, Ian dan Dani didepan ruang operasi. Doa tak putus dipanjatkan Ia untuk kelancaran operasinya Alfa. Ian yang menyadari sudah memasuki waktu maghrib mengajak Ia dan Dani untuk sholat berjamaah. Mereka meninggalkan papanya sendirian didepan ruang operasi.

Ian pun menjadi imamnya. Ia dan Dani dengan khusuk berada dibelakangnya. Menit berlalu hingga Ian mengucapkan salam. Selesai sholat, Ia memanjatkan doa khusus untuk Alfa.

"Ya allah, berikan kelancaran untuk operasi Alfa. Sudah cukup Ia menangis karena ibu yang telah Engkau panggil. Dan Ia mohon, jangan membuat Ia menangis karena Alfa. Lancarkanlah segala urusannya dan sembuhkanlah dia, Ya Allah. Amin."

Ian dan Dani yang memperhatikannya ikut merasa sedih. Seakan Ia yang ada dihadapan mereka bukan Ia yang mereka kenal. Airmatanya banjir setelah memanjatkan doa. Dalam fikirannya seperti Ia akan kehilangan kembali orang yang dia kenal. Apalagi masa lalunya terus terlintas dalam benaknya. Membuatnya berfikir jika Alfa akan berakhir seperti ibunya dulu.

Mereka kembali ke ruang operasi. Sudah ada mamanya Alfa disana berdiri seorang diri. Tante Ira langsung menatap tajam ke arah Ia begitu mengetahui kedatangannya.

"Puas kamu sudah buat anak saya seperti itu." Kesal Tante Ira.

"Aku minta maaf, Tan." Tutur Ia.

"Kata maaf dari kamu tidak bisa menggantikan posisi dia yang di ruang itu yang seharusnya kamu yang ada di dalam."

Ia diam sambil menundukkan kepalanya. Menerima sikap tante Ira yang marah kepadanya.

"Bagusnya kamu apa sih? Sampai Alfa rela terluka hanya untuk menyelamatkan kamu." Marah mamanya sambil menunjuk Ia.

"Aku minta maaf." Ucap Ia sekali lagi.

Mamanya yang kesal langsung membuang muka dan memilih menjauh dari mereka. Menit berlalu dan lampu ruang operasi mati, menandakan operasinya telah selesai. Tak lama dokter keluar dengan bersiap menyampaikan berita.

"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar. Meskipun cukup dalam, tetapi kami sudah menanganinya dengan sebaik mungkin. Jadi tidak perlu dikhawatirkan. Dalam 1 sampai 2 hari Alfa baru bisa sadar. Dia masih harus menjalani masa pemulihan disini. Satu jam lagi dia akan dipindahkan ke ruang perawatan." Tutur dokter pria itu.

Semua yang disana menyambutkan dengan senyum bahagia, tak terkecuali Ia yang berungkali bersyukur dengan mengucapkan Alhamdulillah.

Pagi menyapa, berita tentang penyekapan Ia di gudang sekolah yang dilakukan Shila tersebar luar. Apalagi mereka dibuat terkejut karena Alfa terluka karena ulah Shila dan harus menjalani operasi di rumah sakit. Setelah kejadian itu, banyak murid yang geram dan menghardik perbuatan Shila. Satu per satu siswi yang telah menjadi korban Shila memberanikan diri mendatangi ruang BK untuk menceritakan perbuatan buruk Shila yang sudah diperbuat kepada mereka. Setelah mempertimbangkan dan menjalani rapat, para guru akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Shila dari sekolah karena tindakan Shila yang tidak dapat dimaafkan dan sudah perbuatan kriminal. Selembar kertas yang baru di pajang di mading sekolah yang menginformasikan bahwa Shila resmi dikeluarkan dari sekolah langsung disambut senyum para murid. Mereka juga tidak suka dengan sikap Shila yang selalu menang sendiri dan mudah menindas para murid.

Di kantin, sudah ada Ia dan Icha sedang menyantap bakso. Icha menyantapnya dengan terus memperhatikan sahabatnya. Dia ikut bersedih dengan apa yang sudah dialami Ia kemarin sore hingga membuat Alfa yang harus menjadi korbannya.

"Kamu gak papa kan?" Tanya Icha memastikan.

"Berapa kali kamu tanya seperti itu. Aku gak papa." Jawab Ia yang sedikit kesal mendengar pertanyaan dari Icha yang sudah dia dengar untuk kesekian kalinya.

"Meski aku gak ada disana waktu itu, tapi aku ikut sedih setelah mengetahui apa yang sudah terjadi sama kamu." Kata Icha dengan sedih.

"Aku gak papa." Jelas Ia dengan tersenyum manis.

Icha yang melihatnya ikut tersenyum karena melihat Ia yang memang sudah terlihat baik.

Sore harinya Ia memutuskan untuk menjenguk Alfa di rumah sakit. Belum sampai di depan ruangan Alfa, Ia melihat para teman kelas Alfa masuk bergantian untuk melihat kondisi Alfa. Ia pun berjalan mendekat ke arah mereka. Mereka yang mengetahui kedatangan Ia menyambutnya dengan senyuman dan dibalas Ia dengan senyum manisnya. Sebagian dari mereka menanyakan bagaimana kondisinya dan Ia menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Tak lama kemudian Rey dan teman-temannya keluar dari ruangan itu. Setelah dirasa semua telah melihat kondisi mereka, mereka pun memutuskan pulang. Rey yang disana mengurungkan niatnya dan memilih masih disana karena kehadiran Ia. Teman sekelasnya pamit kepada Rey untuk pulang lebih dahulu dan tinggalah mereka berdua. Mereka memilih duduk di kursi rumah sakit.

"Lo gak papa?" Tanya Rey.

"Aku gak papa." Jawab Ia dengan tersenyum.

"Bahu lo gak parah kan?" Tanya Rey.

"Enggak, cuma lecet-lecet sedikit." Jawabnya santai tanpa melihat lawan bicaranya.

"Gue seneng dengernya kalau elo emang gak papa. Oh ya, gue dapat info katanya papanya Alfa melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib. Shila ditahan dan menjalani penyelidikan. Sebagian dari anak-anak merasa sedih karena dia masih dibawah umur." Jelas Alfa.

Ia membalasnya dengan senyum kecilnya.

"Sebegitu besar ya pengorbanan Alfa sampai dia rela mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan elo." Tutur Rey yang berhasil membuat Ia menatapnya.

Ia terlihat tersenyum namun jelas dari matanya menunjukkan kesedihan yang dalam.

Hari berganti, Ia rajin menjenguk Alfa di rumah sakit meski terkadang mendapat penolakan dari Tante Ira dan menyuruhnya pergi. Ia hanya bisa menerimanya dengan tersenyum karena sadar mamanya belum bisa menerima permintaan maaf dari Ia. Ia tak pantang menyerahnya, jika siang mama Alfa menolaknya lalu dia memilih untuk menjenguk Alfa di malam hari dengan ditemani sang kakak atau ayahnya. Dia memanjatkan doa didepan Alfa yang masih terbaring lemah. Karena Ia memilih malam hari untuk menjenguk Alfa, dia hanya melihat Alfa dengan tidur lelapnya. Alfa selalu terpejam disaat Ia ada disana.

Beberapa hari kemudian Alfa akhirnya diperbolehkan pulang. Dia hanya terbaring di kamarnya dengan memainkan ponselnya. Tak jarang Caca menengoknya untuk memastikan kondisi kakaknya. Bi Sarti juga sering masuk keluar kamar Alfa untuk membawakan buah dan makanan. Hingga akhirnya sang papa mendatangi kamarnya. Dia duduk disamping putranya.

"Maaf papa tidak bisa sering datang ke rumah sakit waktu kamu di rawat."

Alfa diam tanpa melihat papanya.

"Kamu marah sama papa?" Tanya papanya.

Alfa masih memilih diam.

"Kenapa kamu memilih terluka untuk menyelamatkan Ia?" Tanya papanya lagi.

"Aku cuma ingin menolongnya." Jawab Alfa.

"Yakin hanya ingin menolongnya? Bukan alasan karena adanya perasaan? Karena ini bukan Alfa yang papa kenal yang memilih mengorban dirinya yang terluka untuk menyelamatkan seorang gadis." Jelas papanya dengan lembut.

Alfa terdiam mendengarnya. Papa melihatnya dengan tersenyum kecil.

"Aku cuma pengen berubah jadi lebih baik lagi. Menolong dia mungkin sebagai bukti jika aku benar-benar mau berubah." Jelas Alfa setelah tersadar dari diamnya.

Papanya tersenyum mendengar jawaban Alfa. Beliau bangkit dari duduknya dengan tak lupa mengusap lembut rambut Alfa lalu pergi. Selepas papanya keluar dari kamarnya, Alfa tampak menahan rasa kecewanya. Kecewa karena Ia tak datang untuk menjenguknya di rumah sakit. Tak lama dia langsung melempar bantalnya ke lantai kamar.

ALFA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang