43

387 15 0
                                    

Alfa semakin kencang melajukan mobilnya karena Bayu masih membuntutinya. Jalanan yang ramai tak membuat Alfa melambatkan mobilnya dan berusaha menghindar dari kejaran Bayu. Akhirnya Alfa berhasil lolos dari kejaran Bayu karena Bayu berhenti dilampu merah. Ada raut kesal di wajah Bayu karena tak berhasil mengejar Alfa. Alfa justru tersenyum puas karena merasa menang dari Bayu. Beberapa menit kemudian Alfa menghentikan mobilnya di bahu jalan. Dia menatap gadis yang saat ini ada disampingnya. Dia merasa bersalah karena membuat Ia ketakutan. Dilihatnya Ia yang masih menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya.

"Udah berhenti. Bayu gak ngejar kita kok." Tutur Alfa pelan.

Ia menurunkan tangannya dan tanpa sadar sedari tadi air matanya mengalir karena ketakutan dengan sikap Alfa yang melajukan kencang mobilnya.

"Kok nangis?" Tanya Alfa khawatir.

"Kamunya kebut-kebutan kayak gitu, aku takut." Jawab Ia tanpa mau melihat Alfa.

Alfa yang melihatnya merasa sedih. Dia langsung mengambil kotak tisu yang ada dikursi belakang lalu memberikan kepada Ia. Ia pun mengambil selembar tisu.

"Gue minta maaf." Ucap Alfa.

"Kamu boleh kok kebut-kebutan, tapi jangan sama aku. aku gak suka." Kata Ia sambil mengusap air matanya.

"Iya, gue minta maaf ya. Habis ini kita balik ke bengkel, kita ambil motor kamu." Balas Alfa dengan lembut dan senyum kecil meski diwajahnya masih terlihat rasa bersalah.

Ia mengangguk sambil mengusap airmatanya. Alfa yang merasa bersalah langsung memalingkan wajahnya dari Ia dan menatap kosong keluar jendela karena tidak tega melihat air mata Ia. Dia teringat dengan kalimat Dani jika air mata Ia bisa membuatnya lemah saat melihatnya. Hal itu benar, karena saat ini Alfa bisa merasakannya sendiri.

Malam harinya, Ia sedang makan malam bersama ayah dan kakaknya. Suasana cukup hening karena mereka sedang menyantap makanan. Menit berlalu dan mereka telah selesai. Ada obrolan kecil di tengah mereka.

"Rumah makan bagaimana Ian?" Tanya ayah kepada Ian.

"Baik, Alhamdulillah cukup ramai, apalagi seminggu lagi disewa untuk acara kantor. Rezeki yah." Jawab Ian antusias.

"Ayah senang mendengarnya. Jangan lupa sedekahnya. Insyaallah rezeki yang Ian dapat tambah berkah." Pesan Ayah.

"Amin.." Ucap Ian dengan senyuman.

"Baru aja kelas XII, udah ada usaha rumah makan, kerja di kantor pula. Apalagi kalau mobilnya laku, bonusnya gede tuh." Kata Ia sambil mengupas jeruk.

"Hehehe..." Jawab Ian dengan cengiran.

"Kenapa? Ia iri dengan apa yang didapat Kak Ian?" Tanya ayahnya.

"Enggak, bangga aja punya kakak kayak dia." Jawab Ia tanpa memandang ayahnya.

Ayahnya tahu jika Ia iri dengan kakaknya. Apalagi ayah mempercayakan rumah makan sepeninggalan ibunya kepada Ian.

"Ia itu perempuan, kalau udah dewasa Ia pasti bisa usaha sendiri dan bisa bertanggung jawab dengan apa yang Ia usahakan. Tanggung jawab seorang lelaki itu lebih besar dari pada perempuan. Maka dari itu, seorang lelaki lebih bisa melatih bekerja keras sejak dini. Supaya nanti jika dia sudah di dunia luar, dia tidak akan terkejut dengan banyaknya saingan dunia kerja." Tutur ayah Ia dengan bijak.

"Tapi aku kan juga pengen kerja keras kayak Kak Ian, yang ayah selalu banggakan."

"Ayah bangga dengan kedua anak ayah. Ayah bangga sama Kak Ian karena Kak Ian ingin mandiri. Dia memilih bekerja setelah pulang sekolah. Waktu yang seharusnya Kak Ian gunakan bermain dengan temannya justru Kak Ian gunakan untuk bekerja." Kata Ayahnya.

Kali ini Ia memperhatikan ayahnya.

"Ayah juga bangga dengan Ia. Ia bisa sekolah di salah satu SMA favorit di Jakarta dengan beasiswa penuh. Padahal ayah sanggup membiayai kalian berdua, tapi Ia justru memilih untuk mengambil beasiswa penuh di sekolah Ia dengan prestasinya Ia. Ayah bangga dengan Ia dan Kak Ian karena ingin mandiri. Tapi kalian menunjukkannya dengan hal yang berbeda." Lanjut ayahnya di akhiri senyuman.

"Ia juga bangga sama ayah. Ayah yang selalu jadi pelindung dan berusaha apapun untuk kita." Kata Ia dengan senyuman.

Ayahnya ikut tersenyum mendengarnya.

"Emang lo doank yang bangga, gue juga kali bangga sama ayah." Timpal Ian lalu melempar senyum kepada ayahnya.

"Sudah-sudah, ayah mau nonton TV. Kalian lanjut ngobrolnya." Kata ayah sambil berdiri, lalu pergi.

"Gue pulang tadi, kok elo diam aja. Gak kayak biasanya?" Tanya Ian.

"Tau ahh.." Balas Ia sambil memakan jeruknya.

"Ada masalah? Sama siapa? Alfa kah?" Cerocos Ian.

"Sok tau banget."

"Yeeee.. gue sebagai abang yang baik, cuma mau tau aja apa yang terjadi sama adeknya."

Ia menarik nafas panjang sebelum bercerita.

"Salah gak sih kalau kita pengen lebih dekat mengenal seseorang tapi ada aja yang berfikiran negatif. Direndahin, dibilang cuma memanfaatkan. Padahal kita tulus mau berteman sama dia." Cerita Ia.

"Elo direndahin? Dikata memanfaatkan karena dekat sama dia? Yang bilang gitu siapa? Mamanya Alfa?" Balas Ian.

Ia terbelalak kaget, Ian dengan mudahnya mencerna kalimat Ia. Sudah beberapa kali ini tebakan Ian selalu benar.

"Emang kalau aku mau dekat sama dia salah ya?" Tanya Ia sedih.

"Emangnya elo udah suka sama dia?" Ian tanya balik.

"Gak tau. Senang aja lihat Alfa yang luarnya kelihatan kasar cuek, berandalan ternyata bisa menunjukkan sisi baiknya. Seakan anggapan orang tentang Alfa yang buruk, itu gak sama persis sama Alfa yang sebenarnya." Jelas Ia.

"Jangan dibikin ribet, gue bingung memahaminya." Keluh Ian.

"Gini, diluar sana Alfa mungkin bisa menunjukkan sisi buruknya. Tapi kalau udah kenal sama Alfa, dia itu orangnya asli baik. Alfa membiarkan mereka yang menilainya buruk. Padahal Alfa bisa aja bersikap baik sama mereka."

"Gue iyain aja. Terus aslinya elo itu suka sama dia?"

"Gak tau, ada aja orang yang gak suka lihat Alfa udah berubah. Mungkin mereka kesal karena Alfa udah gak kayak dulu, tapi kalau ketemu sama aku, kesalnya jadi sama aku. Gara-gara aku udah membuat Alfa jadi menjauh."

"Siapa yang kesel sama elo?" Tanya Ian serius.

"Ya ada lah." Jawab Ia dengan berdiri.

"Tapi elo gak di apa-apain kan?" Tanya Ian lagi.

Ia hanya tersenyum kecil yang jelas terlihat terpaksa.

"Bilang sama gue siapa orangnya." Pinta Ian.

Ia hanya menggeleng dengan tetap tersenyum lalu pergi dari ruang makan itu. Ian yang tak mendapat jawaban dari Ia langsung menggebrak meja makannya sebagai pelampiasan kekesalannya. Bi Asih yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka langsung dibuat kaget dengan gebrakan Ian. Bi Asih langsung pergi ke kamarnya dan meninggalkan Ian disana yang masih penasaran dengan orang yang di maksud adiknya.

ALFA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang