56

347 13 0
                                    

Diperjalanan Ian masih emosi mengingat kejadian tadi. Tak jarang Ian memperhatikan adeknya yang duduk disampingnya sambil menatap kosong ke luar jendela sambil memangku pipi kirinya.

"Gue gak percaya dia ternyata bisa main tangan sama elo." Kesalnya sambil fokus mengemudi.

"Aku aja juga gak percaya." Kata Ia dengan masih menatap ke luar jendela.

"Mulai hari ini, elo harus jauh-jauh sama orang yang namanya Alfa." Pesan Ian

Ia hanya tersenyum kecil mendengarnya.

Merasa bosan dengan pemandangan yang ada disampingnya, kali ini Ia mengubah posisi duduknya dan melihat kendaraan yang ada didepannya.

"Jadi kayak gini ya Kak rasanya kecewa sama orang yang Kita harapkan bisa percaya sama kita." Kata Ia sambil mengelus pipi kirinya dan mengingat tamparan keras yang diterimanya.

"Kenapa? Sakitkan dek." Balas Ian sambil fokus menyetir.

"Apa rasa ini sama dengan yang kakak rasakan dulu? Orang yang kakak percaya justru membuat kakak kecewa. Tapi bedanya aku hanya ingin membuat dia percaya sama aku. belum dapat kepercayaannya, justru aku yang dikecewakan." Cerita Ia setelah menurunkan tangannya.

Ian hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.

"Maaf ya kalau aku ungkit masa lalu kakak." Tutur Ia setelah melihat sikap diam kakaknya.

"Santai aja kali."

Ia melirik kakaknya sebentar lalu fokus ke depan.

"Sakit kan dikecewakan sama orang yang kita suka?" Tanya Ian.

Ia tak menjawab.

"Mungkin elo belum bisa bilang kalau ternyata elo suka sama dia. Elo akan sadar kalau ternyata elo suka sama dia disaat elo merasa kecewa sama diri elo sendiri karena elo udah gak bisa membuat dia percaya lagi sama elo."

"Oh ya?" Kata Ia tanpa menoleh abangnya.

"Iya. Misalnya kalau elo bilang sesuatu sama Dani dan Dani gak percaya, elo akan merasa kesel karena dia gak mau percaya sama omongan elo. Tapi kalau elo bilang sesuatu sama seseorang yang lo suka dan dia gak percaya, elo akan merasa sedih dan kecewa karena gak bisa buat dia percaya sama omongan elo. Sama kayak elo sekarang." Jelas Ian.

Ia menghela nafas panjangnya dan memilih menatap pemandangan yang ada disamping mobil, menyembunyikan wajah sedihnya dari abangnya.

"Aku kecewa sama diri aku sendiri yang gak bisa membuat Alfa percaya sama omongan aku. aku juga sedih karena sikap Alfa yang akhirnya menggunakan tangannya sendiri untuk melampiaskan kekesalannya terhadapku." Kata Ia dengan sedih.

Ian akhirnya menatap adiknya, merasa prihatin dan sedih dengan apa yang dialami adiknya tadi di sekolah. Ia yang dengan berani menjelaskan semuanya didepan Alfa namun mendapat tamparan keras yang dilakukan di depan umum.

"Aku terima dia marah sama aku,dia bentak aku bahkan dia tampar aku di depan orang banyak. Yang gak aku terima aku disalahkan dengan hal yang gak aku lakukan. Aku gak suka di tuduh kayak gitu Kak." Lanjut Ia yang tanpa Ia sadari air matanya mengalir tanpa isakan.

Ian yang melihatnya dari kaca spion merasa bersedih dengan cerita adiknya.

"Lahhh, adek gue yang cantik kok nangis sih. Ntar jelek lhoo." Hibur Ian sambil menatap ke depan.

"Kalau gitu kasih saran buat adik kakak ini supaya gak bersedih lagi dan gak teringat kejadian sekolah. Dan gimana bersikap kalau ketemu di sekolah?" Tanya Ia sambil mengusap air matanya.

"Alaahhh.. bilang aja caranya move on. Eh,, bentar deh. Tapi cepat amat elo move on nya. Perasaan kemarin-kemarin elo seneng aja kalau sama dia. Masak baru diginiin aja udah mau move on. Ntar nyesel lhoo." Cerocos abangnya.

Ia hanya tersenyum kecil.

"Gue mungkin kesel sama dia, melarang dia buat main ke rumah lagi dan melarang elo buat deket-deket sama dia. Tapi untuk melupakan suatu hal apalagi yang membuat hati lo bahagia gak bisa secepat itu dek.Butuh waktu dan ada prosesnya."

"Oh ya?" Tanya Ia sambil memperhatikan abangnya.

"Kalau elo memaksakan untuk melupakannya dengan waktu yang cepat, hati elo yang gak akan terima. Justru biarkan waktu berjalan namun diiringi dengan tindakan. Tindakan elo adalah memaafkan atas semua yang terjadi hari ini dan mulai menghindar dari dia. Perlahan tapi pasti, suatu saat nanti hati elo akan menerima kenyataannya. Kenyataan jika dia udah gak ada lagi buat elo dan dia gak bisa lagi elo harapkan." Nasehat Ian panjang lebar.

Ia tersenyum mendengar nasehati dari abangnya. Kalimat abangnya berhasil membuat Ia sedikit merasa lega.

Malam harinya Ia sedang menaruh baju-bajunya di lemari. Tiba-tiba dia teringat Alfa tak kala melihat celana yang dibelikannya. Senyum kecil muncul saat kenangan indah bersama Alfa, namun tak lama senyumnya luntur tak kala mengingat kejadian pulang sekolah tadi. Raut wajahnya berubah sedih dan dia memilih menutup kembali lemarinya setelah baju-bajunya sudah tersusun rapi.

Pagi menyapa, Ia segera turun dari motornya setelah sampai di parkiran. Dia menghirup pelan suasana sekolahnya sambil mengukir senyum. Suasan masih sepi, Ia pun berjalan santai meninggalkan parkiran. Tak jarang dia mendapat beberapa sapaan dari murid yang melintas. Ia menyapa balik sambil melempar senyum. Ia yang dikenal murid berhijab dan kepribadian baik begitu melekat pada dirinya. Langkahnya menjadi pelan tak kala mendekati kelas Alfa. Ingin rasanya dia mencari jalan lain ke kelasnya. Namun dia harus melawannya karena dia harus belajar menerima kenyataan. Dengan berjalan melewati Alfa, Ia akan belajar bagaimana menerima kenyataan disaat kita ada didekatnya namun tak bisa lagi memilikinya. Alfa berdiri didepan pintu kelas. Dia hanya diam meskipun menyadari Ia akan berjalan melintasi kelasnya. Saat Ia tepat berada didepannya, Alfa hanya bisa membuang Alfa. Sementara Ia hanya menatap lurus ke depan tanpa berniat melirik Alfa. Pemandangan yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Bahkan beberapa murid yang melintas dibuat terkejut dengan sikap saling diam dari mereka berdua. Sebelumnya mereka terlihat dekat satu sama lain, namun sudah tidak lagi mulai hari ini.

Hari itu adalah hari pertama dimana Ia dan Alfa saling menghindar. Saat di kantin Alfa memilih duduk di meja lain dan tampak berlalu begitu saja dari Ia dan Icha. Saat sama-sama ingin mengembalikan mangkok, tiba-tiba sendok Alfa terjatuh. Ia yang ada didekatnya langsung membungkuk dan mengambilnya. Ia menaruh sendok itu diatas mangkoknya dan segera menaruh mangkoknya di meja. Dia segera berlalu dan tak lupa melempar senyum kecilnya kepada Alfa. Alfa diam melihatnya. Tak cukup sampai disitu, mereka berpapasan di koridor kelas. Ia yang tampak tertawa bersama Icha namun segera menyudahinya tak kala melihat Alfa yang sebentar lagi melintasinya. Saat mereka sudah saling mendekat, Ia melempar senyum kecilnya sebagai tanda sapanya. Alfa yang melihat untuk kedua kalinya senyum Ia hanya bisa diam tanpa berkata. Ketika pulang sekolah, Ia tanpa sengaja menyenggol Alfa karena asyik berbincang dengan Icha. Ia yang menyadari kesalahannyalangsung meminta maaf disertai senyum. Namun Alfa hanya memasang wajah datar. Ia kembali melempar senyum melihatnya dan berlalu dari hadapan Alfa. Entah apa yang Alfa rasakan dia melihatnya sambil mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras tampak menahan kesal.

ALFA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang