50

378 14 0
                                    

"Ini kamar elo?" Tanya Alfa takjub.

Ian mengangguk mantap.

"Gila, lumayan luas ya." Lanjut Alfa sambil duduk.

"Biasa aja kok." Balas Ian dan duduk disamping Alfa.

Suasana diam mendadak menyelimuti ruangan tersebut. Hingga akhirnya Ian memecahkan keheningan tersebut.

"Makasih ya udah jagain adek gue." Ucap Ian.

"Gak papa, santai aja kali." Balas Alfa.

"Gue terima elo deket sama adek gue. Apalagi dengan sikap elo yang kadang berlebihan sama adek gue, seakan jelas kalau elo itu suka sama adek gue. Iya kan?"

"Ngomong apa sih."

"Terserah elo mau pungkiri perasaan elo atau enggak. Mulutmu mungkin berkata enggak, tapi hati elo yang bertindak. Hati elo selalu gelisah kalau terjadi sesuatu yang buruk sama adek gue. Terlihat jelas elo suka banget sama adek gue." Jelas Ian.

Alfa tak membalas.

"Sekedar mengingatkan, gue gak masalah dia mau deket sama siapapun itu. Tapi akan jadi masalah kalau dia terluka gara-gara kedekatannya itu." Kata Ian serius.

"Cara elo ngomong kayak gitu seakan elo gak percaya sama gue. Padahal gue cuma pengen deket sama adek elo tanpa berniat menyakitinya."

"Mulut gue mungkin bisa bilang percaya, tapi hati gue enggak sepenuhnya. Bagaimana gue bisa percaya sama elo sementara gue dapat kabar kalau adek gue jadi korban temen-temen elo. Ia mungkin gak bilang tentang kejadian yang udah dia alami. Tapi Alhamdulillah ada teman gue yang melihatnya dan cerita sama gue. Kejadian yang dialaminya pun gak cuma satu kali."

"Gue minta maaf." Ucap Alfa pelan.

"Gue suka elo udah berubah kayak gini. Alfa yang terkenal nakal, suka pukul orang, bikin onar, tapi sekarang udah enggak. Tapi gue takut kalau ada masalah diantara kalian dan kalian saling keras kepala. Elo gak bisa tahan amarah elo dan akhirnya elo main tangan sama adek gue."

"Sekeras kepalanya adek elo, gue akan berusaha menahan amarah gue, dan semarah-marahnya gue, gue gak akan lukai adek elo." Jawab Alfa mantap.

"Gue pegang omongan elo." Balas Ian dengan nada serius.

Alfa diam tanpa niat untuk membalas dan memperhatikan Ian dengan wajah seriusnya.

Pagi di sekolah, Ia baru turun dari motornya. Berjalan santai meninggalkan parkiran. Namun langkahnya terhenti tak kala melihat Alfa yang berdiri sambil menyenderkan badan tingginya pada dinding bangunan sekolah. Ia yang sadar sedari tadi diperhatikan Alfa langsung menghentikan langkahnya tak kala sudah didepan Alfa.

"Kok gak masuk ke kelas?" Tanyanya.

"Hari ini gue banyak tugas dan belum gue kerjakan. Kemungkinan nanti gue gak bisa ke kantin. Dari pada hari ini gue gak bisa lihat elo, jadi gue tunggu elo disini."

"Terus kalau udah lihat aku kenapa?" Tanya Ia lagi.

"Ya gak papa sih. Meskipun gue gak bisa terus di samping elo, tapi gue bakal pastikan kalau elo gak akan kenapa-kenapa."

"Ngomong apa sih?" Tanya Ia tak mengerti.

"Gue akan berusaha buat elo merasa aman selama kita deket kayak gini. Tapi gue boleh minta satu hal gak?" Pinta Alfa.

"Apa?"

"Elo itu jangan mudah tersenyum sama cowok-cowok. "

"Kenapa?"

"Kasihan sama jodoh elo nanti. Percuma aja elo senyum sama dia, toh para cowok udah dapat senyuman manis dari elo lebih awal dibanding sama jodoh elo. Tersenyumlah manis hanya untuk seseorang yang kelak berjodoh sama elo." Jelas Alfa lalu berlalu dari hadapan Ia.

ALFA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang