Jam pelajaran terakhir—atau biasa dikenal sebagai jam tidur siang di kelas XII IPS 1, kini telah usai. Semua siswa mengemasi barang-barangnya, dan bersiap untuk pulang ke rumah.
"Rei, ikut makan bareng nggak?" Tanya Hitomi saat hendak keluar kelas.
"Ikut!! Gue laper sumpah, kalian mau makan bakso samping sekolah kan?"
"Iya! Si Chaeryeong sama Yuri udah disana tuh."
"Tapi gue abis makan langsung cabut ya, soalnya sebelum jam lima gue harus ke daerah utara. Mau ngambil hasil IELTS."
"Ooooh, yaudah gapapa Rei! Yang penting lo makan dulu biar ga maag, oke?"
******
Sementara itu, Minkyu pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Belum jera dengan kecelakaannya beberapa waktu lalu, Minkyu sudah berani mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
"Biarin kalo kecelakaan, toh bentar lagi gue mati."
"Gue hidup juga nggak ada yang seneng kan?"
Saat tiba di rumah, anak berusia tujuh belas tahun itu sempat menghembuskan nafas lega. Sang bapak dan simpanannya sedang pergi, entah kemana. Itu tandanya, Minkyu masih bisa beristirahat sebentar setelah apa yang dia alami hari ini, tanpa harus mendengar perseteruan yang membuat kepalanya sakit.
Pemandangan pertama yang Minkyu lihat ketika memasuki rumahnya adalah kamar Hyeongjun. Kini, kamar tersebut kosong, tak berpenghuni. Hati Minkyu serasa teriris melihatnya.
"Dek......... Kakak kangen..........."
Tak terasa, air mata Minkyu menetes dengan sendirinya. Dimasukinya kamar kecil itu, yang kini sudah menjadi tempat baju-baju tante Jamilah. Minkyu tidak peduli. Rasa rindunya pada sang adik sudah tak dapat ditahan.
Melihat foto-foto bayi Hyeongjun yang terpasang di bingkai, boneka-bonekanya yang tersusun rapi di atas kasur, dan baju-bajunya yang kini berserakan di lantai, Minkyu semakin sedih. Dulu, kamar ini adalah tempat Minkyu mengukir memori bersama sang adik. Sekarang, semuanya tinggal kenangan.
"Dek, kamu nggak mau balik? Orenji kangen sama kamu loh........" Batin Minkyu sambil memeluk boneka jeruk kesayangan adiknya.
Rasa duka menyelimuti tubuh Minkyu, ditambah dengan masalah hidup yang sedang bertubi-tubi menyerangnya. Air matanya semakin deras, dan disinilah sisi lemah Minkyu yang tidak diketahui semua orang terlihat.
"Hyeongjun udah tenang disana kan? Nggak ada yang mukulin lagi kan? Kakak tau, Dek. Tapi, kakak belum bisa ikhlas. Karena, di dunia ini cuma kamu yang sayang sama kakak."
Karena sudah tidak kuat, Minkyu pun keluar dari kamar sang adik. Ditutupnya pintu kamar itu rapat-rapat, agar dia tidak melihatnya lagi. Minkyu kemudian memilih untuk kembali ke kamar tidurnya sendiri. Dibantingnya tubuh tinggi itu ke kasur, sebelum Minkyu mulai merenung.
"Kenapa semuanya jadi kayak gini ya?"
"Adek gue meninggal, sahabat gue ternyata benci sama gue, orang tua gue kayak gitu. Terus gue harus bersandar sama siapa?"
"Di saat yang sama, nilai akademis gue makin anjlok. Baru belajar dikit, tubuh gue udah nggak bisa diajak kerjasama. Salah gue sih, kenapa gue terlalu manjain badan sendiri? Kalo dipaksain dikit aja, pasti peringkat gue ga sejatuh ini."
"Bener kata Junghwan, gue disayang guru bukan karena rajin atau pinter. Tapi karena gue caper. Gue nggak berhak dapet perhatian dan pujian mereka, karena prestasi gue aja nol. Gue emang penjilat."
"Gagal banget gue jadi manusia. Udah bikin adek sendiri meninggal, bikin orang tua susah, bikin sahabat sendiri kesel. Apa gue masih pantes hidup?"
Pikiran Minkyu dikuasai oleh aura negatif. Di saat seperti ini, Minkyu memilih untuk keluar rumah dan mengunjungi suatu tempat yang setidaknya bisa membuat jiwanya tenang.
Pantai. Ya, sejak kecil, tempat ini selalu menjadi favorit Minkyu. Dulu, ia rutin pergi ke pantai untuk mengobati penyakit asmanya yang kerap kambuh, namun kini ia memanfaatkan lokasi tersebut untuk menenangkan pikiran. Minkyu berjalan menyusuri pasir yang bersih, sebelum akhirnya duduk di atas batu karang yang terletak di atas perairan.
"Udah lama gue nggak duduk disini." Gumam Minkyu sambil menikmati pemandangan laut di depannya.
"Terakhir kayaknya pas gue nolongin Lareina? Itupun cuma sebentar."
Desiran angin laut membelai wajah Minkyu, seakan mencoba menenangkannya dari kerasnya kehidupan. Mungkin, itu adalah bentuk perwujudan kasih sayangnya untuk Minkyu. Alam pun tahu, orang sebaik Minkyu tidak pantas untuk menerima perlakuan jahat.
Di tengah ketenangan pantai tersebut, Minkyu merogoh dompet hitamnya. Dia tampak berusaha mengambil sesuatu dari sana.
Sebuah silet.
"Kalo Lareina aja boleh ngelakuin itu, kenapa gue enggak?"
*******
"Are you Lareina?"
"Yes!"
"Here's your IELTS result, congratulations for achieving your desired score!"
"Thank you!"
"Now, please sign here."
Setelah mengambil hasil IELTS-nya, Lareina tidak ingin langsung pulang. Langit di luar masih terlalu indah, dan Lareina ingin menikmatinya sejenak. Hitung-hitung, sebagai sebuah penghargaan diri karena ia berhasil melewati tahapan tersulit untuk kuliah di Australia.
"Pantai aja kali ya? Enak tuh buat me time. Batre hp masih penuh, bisa foto-foto juga."
Ketika Lareina tiba di pantai, dia langsung melepas sepatu, dan berlari di tengah hamparan pasir layaknya anak kecil. Berulang kali ia mengambil foto selfie, masih dengan suasana bahagianya.
"Ke batu karang ah, gue pengen liat laut lebih deket."
Dengan riangnya, Lareina berjalan menapaki batu-batu tersebut, lalu duduk di salah satunya. Ia asik memotret suasana laut sebelum matahari terbenam. Hingga akhirnya.........
"L-loh???"
"MINKYU?????"
"MING, LO KENAPA?????"
*********
Cuma mau ngehype,
MINKYU GANTENG BANGET GUISE BXHSHDHSJDNDHSBDBD, PANTESAN LAREINA BUCIN YA HMMMM
Katanya:
"Lareina hebat!! Tepuk tangan!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Insight | Kim Minkyu
FanfictionMurid teladan yang menyembunyikan rasa sakitnya dari ruang publik....... Achievements: #1 in #2001 (31/08/2019) #2 in #01L (24/8/2019) #16 in #kpop (28/08/2019) #11 in #kimminkyu (17/08/2019) COMPLETED [01/08/2019 - 28/06/2020]