98. Night Ride

905 118 12
                                    

Jam menunjukkan pukul 22:30. Lareina baru mau pulang dari tempat bimbingan belajar setelah mengikuti tambahan kelas matematika. Dari wajahnya jelas sekali kalau Lareina sudah lelah, namun ia tetap memaksakan diri karena jadwal Ujian Nasional yang sudah di depan mata. Pikirannya semrawut, berulang kali ia mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengerjakan model soal yang diberikan. Ia sampai tidak sadar dengan lingkungan sekitar karena mood-nya yang sedang tidak baik.

"Lareina?"

Gadis itu terkejut ketika mendengar suara berat yang memanggil namanya dari meja depan. Masalahnya, semua ruangan sudah gelap. Tidak menutup kemungkinan kalau yang memanggilnya tadi bukan manusia. Tunggu, memang bukan. Karena Lareina menganggap makhluk itu sebagai keturunan malaikat. Perasaannya pun sedikit membaik setelah melihat paras anak laki-laki yang kerap ia panggil sebagai Ming.

"Loh, Ming? Lo masih disini?"

"Iya, Na. Gue abis ngajarin Guanlin sama Dongbin. Lo tau darimana kalo gue disini dari tadi?"

"Eng—itu...... T-tadi gue liat lo lewat. Kan gue belajarnya di karpet luar, hehehe....."

"Oh gitu. Btw, lo pulang ada yang jemput ga, Na?"

"Nggak, Ming. Malem ini gue pulang sendiri. Supir gue nganter orang tua ke bandara."

"Pulang sendiri? Jangan, Na. Daerah sini bahaya buat cewe. Apalagi lo dalam kondisi cape kayak gitu, takutnya diapa-apain orang."

"Nggak kok—"

"Biar gue yang nganter lo pulang. Toh kita tetanggaan."

"Gausah repot-repot, Ming. Gue—"

"Udah, ikut aja."

Dibawanya sang gadis ke tempat parkiran motor yang sepi dan gelap gulita. Sebuah lokasi yang identik dengan kejahatan, bukan? Namun, yang dilakukan oleh Minkyu justru sebaliknya.

"Ayo Lareina, naik."

"Ming, lo kan sakit kanker?? Kok masih boleh bawa motor??"

"Yang penting masih hidup kan? Kalo udah mati baru gaboleh, nanti polisi yang mau nilang kabur semua."

"Ish Minkyu, gue serius!"

"Gue juga serius. Nih, pake jaket gue. Udah malem, nanti lo masuk angin."

"Nggak mau! Nanti malah lo yang sakit. Pake ga??"

"Nggak. Gue nggak akan pulang kalo lo nggak make."

"I-iya, iya."

Setelah perdebatan singkat itu, Minkyu segera membonceng Lareina dan pulang ke rumahnya. Minkyu sengaja memelankan laju motornya, agar ia bisa mengajaknya mengobrol dan menghabiskan waktu lebih lama.

"Na?"

"Hmm?"

"Gimana tadi bimbelnya? Cape ya?"

"Banget, Ming. Kepala gue pusing."

"Kok bisa? Udah makan belum?"

"Belum, Ming. Tadi kan gue sibuk ngerjain soal sama konsultasi ke guru bimbelnya."

"Lain kali jangan gitu, Na. Maag lo bisa kambuh kalo telat makan."

"Gue nggak peduli, Ming. Gue stress banget. Ujian Nasional tinggal beberapa hari lagi, dan masih banyak yang gue nggak ngerti. Lo tau sendiri kan, gue bego banget kalo matematika?"

"Sssst..... Gaboleh gitu ah ngomongnya. Emangnya bagian mana yang lo nggak ngerti? Coba kasih tau gue, siapa tau gue bisa bantu?"

Awalnya, nada bicara Lareina terdengar normal. Akan tetapi, suaranya langsung bergetar ketika Minkyu mengeluarkan pertanyaan tersebut. Air mata yang ditahan sedari tadi pun akhirnya tumpah.

"Banyak banget, Ming. Gue sampe malu nyebutin satu persatu. Emang pada dasarnya gue aja yang nggak mampu, modal duit doang. Lo tau kan, gue sering dikatain gitu sama anak-anak populer di angkatan kita? Dan itu bener."

"Na—"

"Satu hal yang lo gatau, minggu lalu gue disindir sama pak Sunho di depan kelas. Di depan semua temen-temen kecuali lo, karena lo nggak masuk."

"Hah? Masa? Kenapa??"

"Nilai try out matematika gue paling rendah di kelas. Gue udah malu waktu hasilnya dibagiin, dan gue masih harus nanggung malu lagi waktu disindir. Katanya kok bisa Lareina Alodia cuma bener lima, emangnya nggak belajar? Padahal gue udah stay di bimbel sampe malem, sampe lupa makan."

Tangis Lareina semakin deras. Di jalan raya yang mulai kosong, hanya dia dan Minkyu yang bisa mendengar keluhan malam itu. Minkyu tahu, Lareina sudah banyak menderita. Hatinya pun ikut sakit.

"Nangis lagi, Na. Gapapa, keluarin semuanya sekarang mumpung masih ada gue. Gue dengerin semuanya. Gue nggak mau lo pusing besok pagi karena nangis sambil tidur."

"Hiks....... Gue cape, Ming........"

"Gapapa, besok kan bisa dicoba lagi. Sekarang lo istirahat dulu, jangan terlalu banyak mikir supaya lo nggak stress. Oke?"

Tak lama, Minkyu menghentikan motornya di depan sebuah warung makan di pinggir jalan. Lareina sedikit terkejut saat penerangan disana menyeruak masuk ke retinanya.

"Kok berhenti, Ming?"

"Gue mau ngasih hadiah ke lo. Lo hebat hari ini, karena udah kerja keras sampe malem. Makan aja sepuasnya, gue yang bayar."

"Eng—"

"Kenapa? Lo gapapa kan, kalo gue ajak makan di tempat kayak gini? Atau mau ganti ke kafe belakang?"

"Gausah, Ming. Jangan ngerepotin diri buat gue yaa?"

Setelah masuk ke warung tersebut, Lareina memesan semangkuk mie ayam. Sementara itu, Minkyu hanya diam sambil memandanginya yang sedang makan. Sesekali, ia menyingkirkan rambut panjang sang gadis agar tidak masuk ke makanannya.

"Lo kok nggak makan, Ming?" Tanya Lareina.

"Gue udah makan bekal tadi. Udah gapapa, yang penting maag lo nggak kambuh."

Lareina lupa kalau Minkyu mengidap penyakit berat, sehingga menu makanannya lebih terbatas. Ia baru mengingatnya saat melihat Minkyu mengonsumsi obat kanker malam itu.

"Jangan sampe lupa minum obat, Ming. Gue kan pengen liat Minkyu yang sehat lagi."

Minkyu hanya tersenyum tipis sambil menatap mata indah Lareina. Ia lalu menggenggam tangan kiri sang gadis seraya membatin.

"Maaf ya, Lareina. Gue nggak bisa ngikutin keinginan lo. Dalam waktu beberapa bulan, gue bakal pergi. Makanya, gue pengen nikmatin banyak momen kayak gini sama lo. Gue pengen jadi orang yang selalu lo jadiin sandaran saat lo nangis, bahkan kalo perlu jadi tempat cerita harian lo. Gue mau jadi penyemangat hidup lo dan salah satu faktor utama kebahagiaan lo. Gue pengen itu semua terwujud sebelum semuanya berakhir."

******

Insight | Kim MinkyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang