Epilogue Part 1

1.1K 130 20
                                    

"Guys, ambil ijazah dimana yaa?" Tanya Lareina saat melewati ruang kelas XII IPS 1.

"Di ruang TU, Rei. Bilang aja sama yang jaga disana, terus sebutin kelas sama nomor absen." Jawab Minju.

"Lah, lo masih disini? Gue kira udah berangkat ke Aussie....." Kata Guanlin.

"Hahaha, belum Lin. Nanti malem gue berangkat."

"Have a safe flight ya, Rei!! Hati-hati di jalan!!" Ucap teman-teman sekelas Lareina yang duduk di koridor sekolah.

"Makasih yaa! Kalian juga, semoga sukses kuliahnya!!"

Lareina pun berlalu. Hal kecil seperti itu sukses membuatnya senang, karena selama ini dia hanya siswi biasa yang tidak terlalu diperhatikan publik. Sayangnya, hal ini terjadi sesaat sebelum ia pergi dan mengakhiri masa sekolahnya.

"Permisi, Bu. Saya mau ambil ijazah....."

"Oh iya, silahkan...... Kamu kelas mana, Nak?"

"XII IPS 1, Bu. Absen sembilan."

Sambil menunggu sang petugas mengambil ijazahnya, Lareina mengobrol dengan Mahiro yang kebetulan mengantri di belakangnya. Rasanya sudah lama ia tidak mendengar celoteh Mahiro dan segala tingkah anehnya di kelas. Kabar baik, kini dia sudah diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Nazarnya untuk berjalan kaki hingga Gunung Sindur jikalau diterima di PTN pun sudah dilaksanakan.

"Ini ijazahnya ya, Nak. Coba dicek dulu." Ujar petugas TU sambil menyerahkan dokumen tersebut.

"Baik, Bu."

Kening Lareina berkerut saat mendapati nama dan foto di dokumen tersebut tidak cocok dengan identitasnya. Sebenarnya, ia sudah merasa ada hal yang janggal ketika melihat kolom nilai. Rasanya, nilai Lareina saat SMA tidak setinggi itu.

"Astaga......"

"Bu, maaf......."

"Ini bukan ijazah saya......"

"Saya salah nyebut nomor absen. Harusnya sebelas bu, bukan sembilan."

"Haduh Nak, Nak. Belum lama loh kamu lulus dari sekolah ini, masa udah lupa nomor absen sendiri? Untung ibu suruh cek dulu." Ledek petugas TU sambil cekikikan.

"Maaf bu......"

"Oh, ini ijazahnya Kim Minkyu ya? Siswa teladan yang meninggal beberapa bulan lalu?"

"Iya, Bu. Tolong disimpan saja, siapa tahu ayahnya mau kesini buat ngambil ijazah itu."

"Pasti, Nak. Kalaupun tidak, palingan dijadiin arsip sekolah sekaligus kenang-kenangan bahwa sekolah ini pernah punya siswa sebaik dan sepintar Minkyu. Jujur, kami semua rindu dia."

Lareina termenung. Hatinya begitu pedih saat mendengar nama itu lagi. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Masalahnya, di ruangan ini banyak guru lain dan beberapa siswa yang juga mengambil ijazah.

"Rei......." Panggil Mahiro yang kini berpindah ke samping kanannya.

"Lo sekangen itu ya sama Minkyu?"

Lareina mengangguk tanpa mengeluarkan jawaban. Ia tahu, tangisnya akan pecah kalau dia memaksakan diri untuk berbicara.

"Gue turut berduka ya, Rei. Lo pasti ngerasa kehilangan banget."

"Makasih, Ro. Gue gapapa kok."

"Kebetulan banget, mumpung gue ketemu lo disini. Boleh nggak, nanti kita ngobrol sebentar di luar?"

"Boleh."

*********

"Jadi gimana, Ro?" Tanya Lareina membuka percakapan.

"Ini, Minkyu nitip sesuatu sama gue. Katanya buat lo." Jawab Mahiro sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Makasih, Ro."

"Sama-sama. Oh iya Rei, gue masih mau cerita sama lo."

"Apa?"

"Lo mau tau nggak, kenapa Minkyu telat pas wisuda, padahal selama sekolah dia hampir nggak pernah telat?"

Lareina mengangguk.

"Lo juga mau tau nggak, kenapa Minkyu gapernah nembak lo?"

"Karena........ Gue jelek?"

"Salah besar. Dengerin cerita gue."

/flashback: Mahiro/

"Kyu, mau tau sesuatu nggak?" Tanya Mahiro.

"Apaan, Ro? Cerita-cerita lah."

"Gue jadian sama Nako, Kyu!! Gila, ternyata tuh anak udah nge-fans sama gue dari kelas sepuluh."

"Asik, congrats ya!"

"Hahaha, makasih Kyu. Lo sama Lareina kapan nyusul?"

Sontak, Minkyu tertunduk lemas. Ia langsung memalingkan wajah dari Mahiro. Mahiro pun merasa bersalah, sepertinya ia salah bicara.

"Kyu......" Bisik Mahiro sambil menggenggam tangan Minkyu yang diinfus.

Ya, dari tadi, mereka bercakap-cakap di ruang rawat inap. Minkyu mengalami pendarahan yang cukup parah beberapa hari sebelum acara wisuda, yang mengharuskannya untuk dirawat di rumah sakit. Lareina tidak pernah mengetahuinya sebelum Mahiro yang bercerita. Minkyu memang hobi menyimpan rahasia.

"Udah pernah ada yang nanya hal itu sebelumnya. Jujur, gue pengen nembak Lareina. Gue pengen banget jadi pacarnya Lareina."

"Tapi gue nggak bisa, Ro."

"Kenapa?"

Sret.

Minkyu menyerahkan sebuah amplop yang isinya sudah terbuka. Sebuah rekam medis.

"Kyu..... Serius?" Tanya Mahiro lirih.

"Iya. Coba lo bayangin, kalo gue nembak Lareina sekarang. Posisinya, penyakit gue udah parah dan umur gue tinggal tiga bulan. Apa Lareina nggak sakit hati, kalo tiba-tiba gue pergi disaat dia lagi sayang-sayangnya?"

"Gue sayang sama Lareina, tapi gue nggak mau egois, Ro. Gue tau gue bakal ninggalin dia dalam waktu dekat, makanya gue nggak mau menjalin hubungan apapun. Gue mau menikmati waktu yang tersisa sama Lareina dengan cara lain."

"Empat hari lagi, kita wisuda. Gue bakal nyari alasan supaya gue bisa keluar dari rumah sakit ini dan ketemu Lareina."

"J-jangan, Kyu! Sumpah, lo istirahat aja disini. Lo nggak liat, darah lo di bantal tadi sebanyak apa? Muka lo sampe pucet loh karena mimisan terus. Nanti gue suruh Lareina yang kesini aja deh, ya??" Balas Mahiro.

"Gue akan tetep ikut wisuda. Gue pengen liat Lareina dinobatkan sebagai satu-satunya anak IPS yang kuliah di luar negeri."

"Nggak cuma itu, gue juga pengen liat penampilan dia pake kebaya dan make up. Pasti dia cantik banget."

Perkataan Minkyu tidak hanya di mulut. Benar saja, saat hari kelulusan, ia memaksa sang ayah untuk mengeluarkannya dari rumah sakit. Awalnya dokter Minhyun menolak, namun karena Minkyu terus mendesaknya, beliau pun memberi izin bersyarat. Minkyu harus menghabiskan botol infus terakhirnya yang memakan waktu sekitar dua jam di pagi hari.

/flashback off/

"Jadi........"

"Iya, Rei. Udah tau kan, Minkyu sesayang apa sama lo?"

********











Insight | Kim MinkyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang