102. Senja Kejujuran

716 107 8
                                    

Waktu setempat sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Langit mulai menampakkan cahaya jingganya, namun matahari masih setia menemani sang bumi. Begitu pula dengan Lareina yang masih setia bersama Minkyu.

"Na, kita duduk disana yuk?" Ajak Minkyu sambil mengunci mobilnya.

"Yuk!"

Minkyu membawa Lareina ke sebuah tempat yang sama-sama mereka sukai. Ya, pantai dan lautan. Berbeda dengan pantai yang biasa mereka kunjungi sebelumnya, tempat ini lebih jarang terjamah oleh umat manusia. Letaknya dekat dengan rumah Minkyu yang dulu, tetapi agak bergeser ke arah timur menuju perbatasan provinsi.

"Lareina, mau gue fotoin nggak? Bagus loh disini." Tawar Minkyu.

"Boleh boleh!!"

Bukan jalan-jalan namanya kalau tidak ada foto dan dokumentasi, apalagi di tempat yang indah seperti ini. Kedua insan itu saling memotret sambil menunggu terbenamnya matahari, sesekali mereka berjalan mendekati perairan untuk menikmati sejuknya air laut. Pada kesempatan ini pula, Lareina memanfaatkannya untuk modus.

"Ming, tadi kan udah foto sendiri-sendiri tuh."

"Terus?"

"Foto bareng lah sekali-kali, kan gue mau pergi ke negara orang."

"Oh iya...... Yuklah, Na. Kapan lagi kita bisa kayak gini?"

"Bener, apalagi besok gue pulangnya setahun sekali."

Awalnya, masih ada jarak antara tubuh Minkyu dan Lareina. Padahal, kamera ponsel sudah siap di depan wajah mereka. Sebenarnya, Lareina malu untuk minta berfoto bersamanya. Hingga akhirnya, Minkyu yang menutup jarak tersebut.

"Dempet lah, Na. Gausah malu-malu......" Goda Minkyu sambil memamerkan kawat gigi bawahnya.

"Eh—iya, hehehe......"

Klik.

Momen itu terekam dengan sempurna. Lareina menambahkan dua kali pemotretan lagi, dan di foto terakhir, ia mendapati Minkyu yang tidak sengaja menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

"Tenang Rei, tenang..... Ini baru pemanasan...... Baru foto bareng, belum masuk ke menu utama.........." Batinnya sambil mengatur nafas.

"Lagipula...... Bisa jadi ini foto terakhir lo sama dia, Rei. Setelah lo suarakan semuanya nanti, bisa jadi dia malah kesel dan mulangin lo ke rumah."

"Lareina."

"Eh—iyaa?"

"Yuk, kita duduk aja. Lo gapapa kan, duduk di pasir?"

"G-gapapa kok, Ming. Hehehe......"

"Kirain gitu lo nggak mau. Baju lo kan mahal, nanti kalo kotor lo ngambek."

"HAHAHA, APAAN SIH MING!"

Minkyu hanya menanggapinya dengan senyuman, membuat suasana kembali canggung. Ia beralih menatap langit dan lautan yang terhampar luas di depannya. Lareina ikut menikmati mahakarya Tuhan yang indah itu. Ya, maksudnya seorang pria tampan bernama Kim Minkyu.

"Bayangkan, Rei...... Kalo lo beneran jodohnya Minkyu........"

"Beruntung banget lo, bisa liat setiap fitur wajahnya tiap hari."

"Lo bisa nyubitin pipinya yang kayak onde-onde......."

"Lo bisa natap matanya yang bening, yang bahkan kalo dia pake kacamata pun keindahannya ga berkurang."

"Lo bisa liat hidungnya yang kayak perosotan anak paud......"

"Lo bisa ngeliatin bulu matanya tiap dia lagi tidur....."

"YA TAPI ITU SEMUA HALU KALO LO NGGAK BERANI NGOMONG, AH LAREINA GENDENG!"

"Lareina?"

"Ups........"

Lagi-lagi, lamunan Lareina dibubarkan oleh Minkyu. Ia cepat-cepat mengembalikan fokusnya dan langsung berhadapan dengan wajah lelaki itu.

"Kenapa, Ming?"

"Gue mau nanya."

Deg.

Percaya atau tidak, kalimat itu adalah kalimat yang menakutkan bagi banyak orang, termasuk Lareina. Alasannya pun masih menjadi misteri. Padahal, secara logika, pertanyaan yang dikeluarkan oleh lawan bicara belum tentu negatif.

"M-mau nanya apa, Ming?"

"Lo kapan berangkat ke Australia?"

"Tanggal 2 Agustus. Kenapa?"

"Gapapa, nanya aja. Masih banyak dong waktu lo disini?"

Lareina hanya mengangguk.

"Lo disana sendirian, nggak ada keluarga, nggak ada temen dari SMA. Kalo nggak salah, lo juga pernah bilang kalo lo orang pertama di keluarga lo yang kuliah di luar negeri. Bener kan?"

"Iya, bener."

"Lo nggak takut, Na?"

"Enggak. Kalo emang niat kuliah jauh, kenapa harus takut?"

"Emang ya, Lareina Alodia Hakim. Kalo ngejer cita-cita nggak kenal kata takut. Gue kagum sama keberanian lo. Lo hebat banget."

"Hehehe, makasih Ming."

Lareina sempat salah tingkah saat menerima sanjungan dari Minkyu. Ia pun menunduk sesaat sambil menyelipkan rambut panjangnya di belakang telinga.

"Ayolah Rei, gitu aja masa salting?"

Butuh waktu bermenit-menit agar emosi Lareina kembali stabil. Sesekali ia mengeluarkan pertanyaan tak penting guna meruntuhkan dinding kecanggungannya dengan Minkyu. Hingga akhirnya, kesabarannya pun habis. Hati Lareina terus mendesaknya untuk berbicara jujur.

"Kim Minkyu."

"Iya?"

"Tadi gue udah bilang kan, kalo gue mau ngomong sesuatu?"

"Oh iya, Na. Apa tuh?"

"Gue kasih kata pengantar dulu ya."

Tak seperti wanita lain saat hendak mengungkapkan perasaannya, tatapan mata Lareina berubah serius. Tubuhnya masih menghadap ke arah laut, namun wajahnya fokus kepada Minkyu. Mau tidak mau, lawan bicaranya pun ikut serius.

"Gini, Minkyu."

"Gue udah janji mau ngelakuin ini kalo gue keterima di Aussie."

"Terserah lo mau gimana sama gue setelah ini, mau lo ngejauh atau benci sama gue juga gapapa."

"Toh sebentar lagi gue pergi. Jaraknya ga main-main, 5000 km dari sini. Dan lo nggak akan liat gue lagi."

"Jangan mikir negatif, Na. Gue bahkan belum tau lo mau ngomong apa." Balas Minkyu.

"Gue cuma ngasih peringatan awal aja. Setelah ini, izinin gue ngomong dan jangan dipotong."

"Oke, gue dengerin."

"Kim Minkyu."

"Gue suka sama lo."

**********



Insight | Kim MinkyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang