Drama sekolah hari ini
Saya bangun kesiangan hari ini, gara-gara semalam membaca buku Les milik Luna hingga larut sekali.
"Kejar kalau bisa!" Dari luar kamar, suara Luna terdengar nyaring. Saya berdiri dan masuk kamar mandi, lalu segera mandi dan kemudian menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba pada Tuhannya.
Setelah selesai, saya keluar kamar dan lihat Aluna dan Kikis sedang menggoes sepedanya di lantai dua, ck. Mungkin mereka ini memang nggak mengerti artinya kotor.
"Yang sampai bawah duluan dia yang menang!" Kikis memekik lalu melesat dengan sepeda di pinggir ruangan, lalu menghilang entah kemana. Lalu di susul dengan Luna. Saya hanya mengamati mereka, mungkin di ujung sana ada sebuah pintu atau jalan penghubung untuk sepedanya turun.
Sekitar satu menit berikutnya Kikis berteriak di taman dekat kolam renang.
"Hiyaaa, Kikis menang!" Teriaknya dengan raut gembira.
"Halah, lo curang Kikis." Omel Luna.
Mereka kini meletakan sepedanya di samping kolam, lalu dengan kejahilan super milik Luna, dia mendorong Kikis sampai terjebur di kolam renang.
"Ah! Kakak ini masih terlalu dingin untuk mandi tahu." Kata Kikis.
Iya, omong-omong ini sudah jam enam, dan mereka yang harusnya membereskan keperluan sekolah justru bermain balap sepeda di dalam rumah pula.ck!
Eh, tunggu. Dengan melihat Luna menaiki sepeda, rasanya saya jadi ingin membelikan sepeda, sepertinya itu akan menghemat uang jajannya karena tidak perlu lagi membayar angkutan umum.
***
Saya datang kesekolah bareng Luna dengan menggunakan mobilnya. Jangan tanya bagaimana ekspresi Luna saat itu, sudah pasti dia menolak nya dengan keras. Selain dia nggak mau dekat-dekat denganku, dia bilang dia juga alergi Raka katanya saat mengadu pada Mama nya.
Dan anehnya Mama Luna hanya tertawa ngakak mendengar celotehan anaknya, mungkin di kira lucu, padahal wajah Luna saat itu sudah menunjukan mode marahnya.
Saat saya turun dari mobilnya, beberapa pasang mata menatapku dengan penuh tanda tanya, wajar mungkin bingung sejak kapan Ketua osis yang suka ngehukum Luna ini deket, atau justru berfikir sejak kapan perempuan membawa mobil dan memboncengi laki-laki, haha.
Saya masuk kedalam gergang kedua, gerbang kedua ini untuk masuk kedalam lingkungan sekolah, lalu langsung berhadapan dengan lapangan futsal. Di sepanjang lapangan futsal itu berjejer ruang kelas sepuluh, kelas sepuluh terbagi menjadi lima belas, enam di bagian sisi lapangan Futsal barat, dan empat di bagian timur sisi lapangan futsal. Kemudian, ada sekat antara lapangan futsal dan lapangan khusus untuk upacara. Lapangan ini lebih luas, ada lima kelas untuk kelas sepuluh, dan sisanya adalah ruang kepala sekolah, kantor, ruang osis, ruang UKS, kelas Olimpiade, dan beberapa ruangan milik ekstrakulikuler lainnya.
Di pinggir kantor ada tangga menuju lantai dua, disana adalah tempat anak-anak kelas sebelas, seperti saya.
Bangunan lantai dua sama seperti bangunan lainnya, berbentuk segi empat dengan lubang besar di tengah untuk melihat lapangan upacara.
Kelas sebelas juga memiliki lima belas kelas, yang terdiri dari kelas IPA enam, kelas IPS enam dan sisanya kelas Bahasa.
Lalu, di samping kelas sebelas IPA enam ada ruang lab, ada lab Bahasa, Lab IPA atau orang-orang memanggilnya Lab Laboratorium, dan terakhir lab IPS. Lalu di samping itu kamar dua kamar mandi untuk laki-laki dan wanita. Di samping kamar mandi ada tangga penghubung untuk kelantai tiga, tempat para senior, disana hanya berisi ruang kelas tiga sebanyak lima belas kelas, dan di tengah-tengahnya terdapat hamparan lantai luas untuk AULA, ya aula tidak ada di dalam ruangan, tapi meski begitu ada pembatas dari rantai untuk orang-orang tidak menginjakan kaki di aula dengan sepatu.
Saya memainkan dinding pembatas, dan lihatlah di bawah sana, Aluna sedang menundukan kepalanya di hadapan kepala sekolah. Saya tidak tidak dapat mendengar ucapan pak kepala sekolah. Tapi yang pasti saya tahu, bahwa Luna baru saja berbuat ulah.
Saya berjalan cepat menuju kelas, lalu kuletakan tas dan segera turun ke lapangan.
"Saya itu bener-bener nggak ngerti sama tindakan kamu. Kamu tahu nggak, orang tua kamu itu mohon-mohon untuk nggak mengeluarkan kamu dari sekolah ini. Tapi apa yang kamu lakukan itu berbanding terbalik sama tindakan kamu yang rasanya lebih mirip pemberontakan untuk minta di keluarkan dari sekolah ini!" Pak Halili amarahnya melambung tinggi, saya tidak tahu tepatnya tidak sadar sejak kapan tiang bendera tidak lagi berdiri kokoh.
"Saya nggak ngerti sama kamu, otak kamu ini di simpen dimana!" Pak Halili membentak lagi, Luna masih menunduk.
"Orang tua kamu pasti nyesel memiliki anak sebandel kamu."
Detik berikutnya Luna menatap pak Halili dengan mata marahnya, dia menatap pak Halili tanpa takut, lalu maju satu langkah dan mengatakan hal dengan suara lantang.
"Saya tahu pak, saya memang bukan anak yang baik. Tapi saya yakin orang tua saya tidak pernah menyesal karena memiliki saya!" Ucap Luna berapi-api.
"Lagi pula, apakah bapak tahu, bahwa tiang bendera ini sudah rusak keadaannya, sudah tidak layak untuk di pakai, apakah bapak tahu bahwa tiang yang sudah lapuk ini membahayakan banyak orang, ini tanggung jawab bapak dan divisi sekolah untuk memastikan semua hal berkaitan dengan sekolah aman untuk muridnya, tapi bapak lalai untuk itu. Makanya saya rusak sekalian, dengan kata lain, bapak juga telah gagal sebagai kepala sekolah!" Luna mengatakannya sambil teriak.
Wajah pak Halili merah padam, lalu seperkian detik dia menghela nafas nya gusar.
"Jaga ucapan kamu, kalau bukan karena saya mungkin ini sekolah tidak masuk dalam kategori sekolah paling diminati."
"Stop pak, nggak baik. Kelas sedang berlangsung. Jangan hanya gara-gara hal sepela kayak gini membuat martabat bapak buruk di antara para murid, untungnya kelas sudah di mulai, bagaimana kalau tidak pak? Pasti nama baik bapak tercoreng, saya sih nggak yakin Luna perduli dengan nama baiknya, karena dia bukan salah satu orang yang mementingkan nama baik sebagai kelebihannya." Tuturku.
Pak Halili menghela nafas, lalu menepuk-nepuk bahunya Luna
"Maafin bapak yah, Luna." Ucap beliau.
Dilapangan hanya ada lima anggota osis dengan kepala sekolah. Di tambah dengan Luna.
"Pak, kami berhasil melacak siapa pelaku sebenarnya." Bu Marina tampak ngos-ngosan memberikan ponselnya pada Pak Halili.
"Semua CCTV memang telah di rusak, tapi ada satu CCTV yang mereka nggak rusak, ya pak, CCTV yang Pak Busron pasang tahun lalu itu memang benar-benar berguna untuk Sekarang." Tutur Bu Marina lagi.
"Maksud Bu Marina, CCTV yang ada di lantai tiga itu?"
"Betul pak. Silahkan lihat sendiri."
"Di sini terlalu redup, lebih baik kita ke ruang BK saja pak." Usul Bu Sinta.
Kami yang menyaksikan ikut masuk kedalam sebagai saksi.
Disana ada lima laki-laki dengan menggunakan almamater sekolah sedang membawa-bawa tangga, lalu terlihat mereka sedang memanjat dinding-dinding, sudah di pastikan bahwa dengan itu mereka merusak CCTV nya, makanya tidak terdeteksi.
Lalu, scane berikutnya mereka melempari sesuatu di dinding, kalau di lihat dari denah itu adalah ruang kepala sekolah.
Dan terakhir mereka memukul-mukul tiang bendera menggunakan palu, yah kelihatannya si seperti palu. Tiang bendera melemcek tidak tegak, lalu mereka membiarkannya begitu saja. Dan terakhir mereka seperti membawa kaleng berisi cat. Mereka dengan kompak mengecet dinding itu. Tidak mereka menulis sesuatu.
"Biar saya yang melihat apa yang mereka tulis pak." Kataku.
Saya keluar ruang BK, seharusnya yang mereka cat adalah dinding toilet.
Saya bergegas menuju toilet, benar disana tertulis yel-yel seperti yang kemarin saya dengar, dengan di tambah kalimat yang ada sangkut pautnya dengan Luna
"Saya butuh kehangatan di kamar saya merasa dingin. Hub : 08966*****"
Saya hafal, itu nomer Luna. Siapa sebenarnya mereka, kenapa mereka punya nomer Luna. Dan apa hubungan mereka dengan Luna.
Dan lagi, kenapa Luna mengaku itu perbuatannya, drama sekaligus misteri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua Osis Galak Itu Suamiku
Novela Juvenil16+ Bagi Raka, menikah dengan Aluna itu bencana, seperti Gempa dengan kekuatan 10 SR. Dan sialnya, dia tidak bisa mengelak karena perjodohan konyol orang tuanya. Dan, bagi Aluna, menikah dengan Raka adalah ajang balas dendam, karena Raka yan...