58

67K 3.1K 181
                                    

Juara

Kulihat, Aluna sedang menyisir rambutnya, lalu mengikatnya dengan karet yang di balut pita biru tua.

Dia meletakan dua cepit bulan sabit di atas kepalanya, cepit itu ia dapat dari Selena, Selena artinya Bulan yang bersinar terang, kata Mama.

"Harus menang." Ucapku yang sejak tadi memotretnya dari belakang.

Dia menoleh dari cermin besar, lalu menyeringai. "Kalau aku menang, kamu mau ngasih aku apa?" Tanyanya

Hm..
Aku memiringkan bola mataku ke kanan atas, bertanda saya sedang berfikir.

Saya tersenyum, kemudian mendekatinya sambil berbisik.

"Akan aku kasih ciuman paling romantis." Ucapku sambil menyeringai, dia bergidik ngeri. Haha

Dia berdiri, tidak mau komentar entah karena takut atau karena malas berdebat pagi ini.

Luna akan mengikuti Lomba lari hari ini, makanya untuk pertama kalinya, dia mengikat rambutnya kesekolah.

"Lun." Gumamku, dia menoleh menatapku polos.

"Semangat." Ucapku

Dia mendekatiku, lalu tersenyum.

"Nggak usah kasih semangat, nggak perlu." Katanya tegas.

Eh?
Apa saya hiperbola?

Aku menatap dia yang masih tatap-tatapan, lalu tanpa kusangka dia maju lebih dekat dan mencium bibirku sekilas.

"Kamu cukup duduk paling depan biar aku bisa lihat wajah kamu." Katanya, ini adalah kalimat termanis yang dikeluarkan dari mulut seorang Aluna.

Untuk pertama kalinya, aku tersipu malu. Aku menarik pinggangnya, mendekapnya.

"Kamu ada sakit Jantung?" Tanyanya polos

Aku menatapnya nggak percaya.

"Sakit jantung karena Luna." Kataku terkekeh, dia pasti merasakan detak jantungku yang aneh, berdetak dengan ritme yang cepat.

Saya menangkup pipinya, sedikit membungkuk untuk bisa mencium bibir Aluna.

Aluna mengalungkan tangannya di leherku, lalu kugendong dia ala Koala.

Aku sedikit menggigit bibir bawahnya pelan, dan langsung kudapati cubitan sakit darinya. Oh, ternyata dia tidak menyukainya.

***

Ini hujan pertama di Bulan Desember, meski begitu Tribun ini tetap ramai pengunjung mengingat masih hari kedua di acara Class meeting. Sorak-sorak ricuh menggema sebagai semangat pagi ini.

hari ini agenda perlombaan full olahraga di Tribun, sedangkan di lantai atas Aula sana, sedang di adakannya Ceramah Cerdas,  atau anak Rohis biasa panggil Mahdas.

Aku melihat Luna yang sudah bersiap di garis start sedangkan yang lain tak kalah siapnya dengan Aluna.

Peraturan lomba ini cukup mudah, hanya berlari sepuluh putaran, lalu mengambil bendera Merah-putih kecil.

"Siaaaap!"

"Sediaaaa!"

MULAAAAI!" Pak Nardi mengomandoi perlombaan ini, meniupkan pluitnya nyaring sampai menggema di udara.  lalu panitia mulai menghitung putaran para peserta, omong-omong ini adalah lomba lari khusus Puteri.

Lari Luna lambat, dia nyaris tertinggal dua putaran. Tidak apa-apa, saya tetap akan memberikannya kecupan. Hahaha. Oke, ini emang maunya aku.

Luna memasuki putaran keempat, larinya makin cepat, dan putaran berikutnya semakin cepat.

Luna setangguh Singa, saya jadi mengingat saat sering menghukum nya berlari, itu mungkin mudah bagi Luna. Terbukti saat peserta lain mulai loyo, dia makin semangat memutari lapangan Tribun.

Luna mengangkat tinggi-tinggi bendera Merah-putih, melambangkan jika dia sudah berhasil mengalahkan dirinya sendiri.

Saya bertepuk tangan heboh, antara bangga karena sering menghukumnya lari, atau senang karena berhasil membuktikan bahwa Luna memang keren.

"Oke, beri tepuk tangan buat Aluna sebelas IPA enam!" Teriak Pak Nardi

Saya bertepuk tangan kembali, mungkin saking semangatnya ini telapak tanganku sampai merah karena terlalu kencang.

"Beri tepuk tangan buat Bunga kelas Sepuluh delapan."

"Beri tepuk tangan untuk Mika sebelas Bahasa satu!"

"Dan terakhir beri tapuk tangan untuk SEMUANYA!" Pak Nardi berteriak hebat sambil menekan kata semuanya . Saya bertepuk tangan lagi, lalu menatap Luna yang sedang di rangkul oleh Indra, dia mengelap peluh Luna, lalu mengibaskan secarik kertas di depan wajahnya.

Teman-teman yang lain juga sama, merangkul Luna, tersenyum lalu berfoto bersama.

Kelas sebelas IPA enam menerima Aluna apa adanya.

Saya menghampiri Luna di lapangan, lalu meremas pergelangan tangannya lembut.

"Selamat." Ucapku sambil tersenyum.

"CIEEEE!" Sorak teman-temannya Luna.

"Perlombaan selanjutkan yaitu Badminton, yang akan di adakan jam sepuluh nanti. Jadi untuk kelas yang mengikuti perlombaan ini harap mempersiapkan diri." Kata Pak Nardi meraya mengucap undur diri.

Saya membawa Luna ke kantin, membelikannya Baso Jumbo yang super nikmat di makan tatkala hujan.

"Foto yuk." Ajak Luna.

Aku hanya mengangguk menanggapi, lalu mengeluarkan ponselku dan memberikannya pada Luna.

Saya tersenyum tatkala mengingat ini foto kami berdua setelah sekian bulan hidup bersama.

Luna fokus melihat-lihat ponselku, mungkin melihat gambar-gambar hasil foto yang tadi. Sedangkan saya sibuk melahap bakso yang tinggal dua lagi.

"Kok WhatsApp Luna ada di hape kamu?" Tanyanya.

Saya tersedak Bakso, nyaris mengeluarkan apa yang telah aku kunyah.

Saya buru-buru minum sambil terbatuk-batuk. Lalu menatapnya sambil terkekeh, sedangkan Luna hanya menatapku polos.

"Jadi?" Tanya Luna meminta penjelasan.

"Ya gitu." Jawabku seadanya.


Kalian nyaman nggak sih sama sudut pandang nya Raka?

Soalnya dia  lebih sering memakai sudut pandang 'saya'

Ketua Osis Galak Itu  Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang