Siapa yang salah?
Bajuku mungkin basah, badan ku juga udah pasti sakit. Tapi aku tahu, Luna juga terluka.
Aku mencium kening Luna lembut, lalu hanya diam dan membiarkan semuanya seperti ini entah sampai kapan. Aku senang menciumnya rasanya damai, rasanya seperti aku menemukan seseorang yang sudah lama sekali hilang dari bayangku.
"Raka." Suara sahutan itu, aku tahu siapa.
Aku menoleh kebelakang, ada orang tua Luna yang tengah menatapku bingung.
Aku menghela nafas, lalu tersenyum.
"Maaf sebelumnya Ma, Pa." Ujarku gugup.
"Sebenarnya saya tidak mengerti dengan kalian, terutama Mama. Saya dengar semua pembicaraan Mama dengan Luna." Kataku.
Mama hanya diam, sedangkan Papa hanya mendengarkan sambil mengelus rambut panjang Luna.
Aku membuang nafas berat "Ma, sekarang Luna udah jadi tanggung jawab saya kan, saat kalian menyerahkan Luna denganku, aku berhak melakukan apapun dengan Luna." Kataku lantang.
Lalu menatap wajah mereka satu persatu. "Usia saya mungkin masih sangat dini untuk menjadi seorang suami. Tapi bukankah seharusnya kalian percayakan Luna padaku?"
Mama Luna menatapku redup, lalu ikut duduk di kasur.
"Mama sayang sama Luna, Mama tahu kamu itu suaminya, tapi ada persyaratan kan yang semula kita sepakati, Raka." Ujar beliau sambil berkaca-kaca.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Saya tahu Ma, jangan melakukan perbuatan yang macam-macam, kan?"
"Tapi, apa salah jika saya mencium istriku sendiri? Saya nggak akan mengecewakan kalian atau bahkan merusak masa depan Luna."
"Raka." Kali ini Papa Luna angkat bicara.
"Kami tahu, kamu itu istimewa sejak kecil, makanya kami peracyakan kamu untuk jagain Luna, anak kami. Tapi ada hal yang selalu orang tua takutkan tentang anaknya, Raka." Tuturnya lembut.
"Aluna ini, kami nggak ngerti lagi harus gimana jagain Luna, ada banyak hal yang buat kami takut Luna kenapa-kenapa. Aluna ini pernah depresi, pernah trauma, dan kami sangat khawatir akan hal itu." Jelasnya.
"Memang tindakan kamu nggak salah, dan itu hak kamu. Tapi inget kalian itu masih di bawah umur." Katanya.
Aku berdiri sambil menatapnya, aku nggak tahu apa tatapanku tajam atau tidak. Tapi yang pasti ada rasa kecewa yang mengganjal hatiku.
"Kalian tahu kami masih di bawah umur, lantas kenapa kalian menikahkan kami?" Aku sedikit teriak. Mereka menatapku terkejut, saya tahu ini kali pertama saya mengeluarkan singa yang sudah bersemayam lama sekali di diriku.
"Jadi saya harus apa? Mendiami Luna? Sedangkan saya ini laki-laki normal yang setiap hari dua puluh empat jam melihat anak kalian dengan segala kepribadiannya."
"Saya tahu batas, dimana saya boleh melakukan ini pada Luna atau dimana saya nggak boleh melakukan itu terhadap Luna!" Teriakku.
"Maaf." Kata Papa Luna pelan, pelan sekali sampai-sampai saya tidak mampu mendengarnya, hanya melihat pelafalan bibirnya saja.
"Maaf kami kurang mempercayaimu, kami takut kalau Luna tiba-tiba hamil di usianya yang bahkan baru enam belas tahun."
Detik itu juga aku tertawa hambar, mereka menatapku takut. "Tanpa mengurangi rasa hormat, Ma, Pa. Sebenarnya kalian itu sudah berfikir terlalu jauh lho. Kami ini hanya sedang membiasakan diri satu sama lain. Jangankan berfikir hamil punya anak, bahkan berfikir melakukannya saja tidak ada. Bukan hanya Luna yang punya cita-cita, tapi juga saya. "
Mereka menghela nafas serentak secata kasar. "Baik, mulai sekarang kami akan melepas Luna seutuhnya terhadap kamu, dan kami peracyakan Luna sama kamu. Tapi tolong yah, jangan keliwat batas. Karena Papa, sebagai laki-laki juga tahu gimana rasanya menahan hasrat terhadap perempuan." Kata Papa.
Aku hanya mengangguk, "Nanti sore, saya akan membawa Luna ke kontrakan, tolong ijinin." Kataku halus.dan mereka hanya saling pandang dan lalu mengangguk bersamaan.
Aku menatap Luna lagi yang sedang tidur pulas.
Lalu ikut berbaring dan memejamkan mataku, lelah sekali dengan semua ini.
Saat aku mulai menghitung domba, tubuhku rasanya berat, seseorang menindihku. Aku membuka mataku, ada Luna yang matanya sudah bengkak karena menangis.
Dia memelukku erat, baru juga di bilang jangan keliwat batas, dan sekarang Luna memulainya, saya selalu tegang kalau meluk Luna, cium Luna atau gendong dia.
"Kamu berat." Gumamku, dia hanya cemberut, dan enggan untuk melepaskan pelukannya.
"Siapa yang salah, Raka?" Tanyanya.
Aku meremas pipinya, gemes.
"Bukan kita. Bukan mereka, bukan takdir." Jawabku.
"Jadi, apa ini salah Tuhan?"
"Bukan. Tidak ada yang salah, kita hanya korban dari pemikiran singkat orang tua kita." Kataku lagi.
Yeah, baik orangtuanya atau orangtuaku mereka hanya berfikir singkat tentang perjodohan, Luna akan belajar dari ku, dan aku akan belajar dari Luna. Tapi mereka lupa kalau kita ini manusia yang punya rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua Osis Galak Itu Suamiku
Roman pour Adolescents16+ Bagi Raka, menikah dengan Aluna itu bencana, seperti Gempa dengan kekuatan 10 SR. Dan sialnya, dia tidak bisa mengelak karena perjodohan konyol orang tuanya. Dan, bagi Aluna, menikah dengan Raka adalah ajang balas dendam, karena Raka yan...