57- Harapan

293 31 2
                                    

Dengan raut wajah gelisah bercampur sebal. Afifah mondar-mandir didalam kamarnya dengan menggenggap ponselnya. Sudah berapa kali ia menghubungi satu kontak yang ada disana. Namun orang itu tak juga mengangkatnya.  Rasanya gadis itu ingin menangis saja. Ia benar-benar takut dengan hari esok. Sedari tadi gadis itu merasa bergetar tak henti-hentinya ia berdoa. Semoga operasinya berjalan lancar.

"Riiii angkat"gumamnya menahan tangis.

Ia butuh teman untuk bercerita. Tadi Afifah sudah bercerita dengan Ibam dan sekarang ia masih butuh teman.

Sejak hari dimana mereka berkumpul di rumah Sesilya, Ari seperti hilang entah kemana. Ia kadang mengabari Afifah bahwa dirinya benar-benar banyak latihan karena akan tes sebentar lagi. Tapi apa sesibuk itu hingga ia tidak bisa mengangkat telponnya.

Sekali lagi gadis itu mencoba menghubungi Ari, namun nihil hingga dering terakhir tak juga diangkat.

Afifah benar-benar menangis kali ini, ia tidak dapat membendung air matanya. Entah kenapa ia merasa benar-benar kecewa  karena Ari tidak mengangkat telponnya.

Apa Aku salah berharap
Atau terlalu mengharap

Ketukan dari pintu membuatnya segera menoleh dan menghapus jejak airmatanya. Ia berjalan membuka pintu kamarnya dan mendapati Umi berdiri disana dengan nampan berisi buah dan susu.

"Boleh Umi masuk?"tanya wanita paruh baya itu lembut. Afifah hanya mengangguk. Bagian mulutnya terasa mengental karena habis menangis.

Umi meletakkan makanan yang ia bawa diatas nakas. Lalu duduk ditepi ranjang Afifah. Menarik anak gadisnya itu kedalam dekapannya secara tiba-tiba. Afifah sedikit terkejut dan segera memperbaiki posisinya ikut memeluk Umi.

Cukup lama mereka berpelukan dalam hening.  Seperti sedang mentransfer kekuatan satu sama lain. Tangan Umi mengelus lembut kepala putrinya, wanita paruh baya itu menangis dalam diam. Ia takut Afifah tau ia menangis dan ikut khawatir.

"Umi, Apip takut" lirih gadis bangir itu

"Nggak apa-apa sayang. Semua bakal baik-baik aja" ucapnya menguatkan. Ia mengelus bahu putrinya yang sedikit bergetar.

"Aku juga mikir ini nggak apa-apa tapi tetap aja pikiran buruk selalu muncul dikepalanya Apip umi"

"Nggak apa-apa. Apip udah sholat isya?" Ia merasa Afifah mengangguk dalam pelukannya.

Akhirnya mereka hanya bisa pelukan dan saling menangis. Hingga Umi melepaskan pelukannya dan menatap anak gadisnya sambil tersenyum lembut.

Ia menghapus airmata di pipi Afifah dengan lembut "Makan buah sama minum susu dulu sayang. Setelah itu tidur biar besok badannya fit"

Umi mengambil buah yang tadi ia letakkan diatas nakas. Mulai menyuapi Afifah dengan buah-buahan segar. "Ibam bilang apa?"

Wanita paruh baya itu berusaha mengalihkan pikiran anaknya dari rasa takut tentang apa yang akan terjadi besok.

Afifah menggeleng sambil mengunyah buah Apel yang baru disuapkan umi untuknya. "Tadi Ibam bilang, aku nggak boleh nangis. Soalnya kalau Aku sembuh dia bakal beliin aku boneka pororo beserta rumahnya. Dia juga bakal beliin Aku ranselnya dora untuk Aku pake kuliah. Biar kalau ujian Aku nggak perlu mikir tinggal ambil diransel ajaib aja"

Umi terkekeh mendengar penuturan polos anaknya. Ibam memang adalah moodbooster siapapun jika mendengar ocehannya. Tidak berfaedah tapi bikin ketawa. Segala kejadian yang mustahil ia ceritakan seolah adalah kenyataan.

"Emang Ibam punya uang buat beliin kamu barang sebanyak itu"

"Katanya ia bakal minta gajinya sama Ari. Karena udah ngajar Ari ngaji"

ArafahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang