Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ari. Cowok itu hanya bisa meringis saat Ilham ayahnya berkali-kali menyimpan bekas di wajahnya. Pelipis cowok itu sudah biru dan sudut bibirnya mengalir darah segar.
Badannya terasa remuk, Dia terkulai lemas di sudut ruangan tanpa berniat melawan ayahnya. Seandainya saja ia tidak mengingat pesan terakhir ibunya. Kemungkinan cowok itu sudah melawan sejak tadi. Tapi ia masih pada komitmen dan janjinya. Orang yang didepannya bukanlah musuhnya tapi ayahnya.
"Dasar anak nggak tau diri. Sudah ayah bilang jangan keluar terus. Urus sekolahmu, dan jangan temui Aci. Adikmu tidak perlu terpengaruh perilaku burukmu" ucap Ilham. Sadisnya saat pria itu berbicara selalu disertai dengan pukulan yang ia layangkan untuk Ari.
Ari sedari tadi masih saja bungkam. Ia menyiasati setiap rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ayahnya saat ini sedang marah besar, karena semalam Ari keluar bersama anak punk itu lagi. Ari sebenarnya sudah ingin berhenti untuk bergaul dengan anak-anak punk itu. Tapi Ari tidak bisa, mereka sudah terlalu banyak melakukan hal baik untuk Ari. Walau ayahnya mengira Ari berteman dengan orang-orang yang amburadul.
Ari tidak menjelaskan itu. Percuma. Ayahnya tidak akan percaya. Bagi ayahnya Ari adalah anak bandel yang bergaul dengan anak-anak nakal di luar sana. Pergaulannya pasti sudah tidak sehat.
Seandainya bisa Ari akan mengatakan "apa pergaulan dan tingkah ayah sudah sehat. Sesehat apa sehingga bisa selingkuh dari bunda?" tapi kalimat itu hanya bergemuruh dalam hatinya. Ia tidak berani mengucapkan langsung. Dia akan mati, Ilham yang kasar tidak akan mengampuninya.
Setelah membuat anaknya babak belur. Ilham pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan bekas pukulan dan darah segar dan lebam-lebam disekujur tubuh anaknya.
"DARAH" Teriak seorang cewek dari pintu. Ia berlari keluar saat melihat wajah Ari yang babak belur dan beberapa bercak darah dibibir dan pergelangannya.
"Afifah" gumam Ari saat melihat cewek yang baru saja teriak histeris adalah Afifah. Ia ingin mengejar gadis itu. Tapi staminanya tidak cukup bahkan untuk berdiri sedikitpun. Untung saja ayahnya sudah pergi saat Afifah ada di sana. Tidak baik jika mereka bertemu.
Dea datang menghampirinya dengan mata yang berkaca-kaca. Gadis itu sudah tau siapa yang melakukan ini pada Ari. Dengan sekuat tenaga ia membantu Ari untuk berdiri dan duduk di sofa yang ada diruangan itu.
"Kenapa Afifah ada di sini?" tanya Ari pelan. Bibirnya keram dan sulit untuk digerakkan.
"Aku yang ngajak. Dia tadi nyariin kamu. Katanya kamu bolos sekolah"
Mendengar hal itu. Bibirnya sedikit tersenyum. Ia berusaha berdiri membuat Deandra memapahnya.
"Mau kemana?"
"Mau ketemu Afifah"
"Aku bantu"
Deandra memapah Ari untuk berjalan keluar rumah. Mencari Afifah. Gadis itu berlari saat melihat keadaan Ari. Afifah takut.
Betapa kagetnya Ari saat melihat Afifa menangis tersedu-sedu di halaman depan rumahnya. Gadis itu duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
"Nyariin Aku? Cieee...khawatir" goda Ari. Membuat Afifah semakin histeris ketakutan.
"Aku takut darah. Jangan mendekat. Aku takut darah. Aku takut. Hiks..hiks...hiks.." histeris Afifah sambil membelakangi Ari.
"Ini bukan darah. Ini prank."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arafah
Teen FictionCinta datang tanpa syarat bahkan bisa dari orang yang sangat kita bencipun cinta bisa tumbuh. Seiring berjalannya waktu tak ada yang bisa menentukan kemana hati kita akan mengarah. Jatuh cinta padamu, berencana untuk berhenti mencintaimu atau justr...