Tiga hari sebelum pemberangkatan Ari untuk pendidikan militer. Ia memutuskan untuk menemui Afifah. Sejak malam hari ia sudah tidak tenang memikirkan segala hal yang akan terjadi. Bagaimana ekspresi kecewa gadis itu akan keputusan Ari. Apa Ari sanggup meninggalkan semuanya tanpa rasa khawatir.
Itu mustahil
Ketika melihat raut wajah Afifah di hadapannya. Begitu sendu dengan mulut tertutup rapat. Tidak mengucapkan apa-apa.
Ari sengaja mengajak Afifah bertemu di taman tempat mereka biasa berjalan-jalan.
"Besok Aku pergi. Kamu mau antar?"
Pertanyaan pertama Ari sejak mereka ada di sana. Afifah masih diam mengatupkan bibir ia hanya memainkan kuku tangannya sambil menunduk seperti anak yang di sidang oleh ayahnya karena ketahuan bersalah
"Kalau nggak mau nggak apa-apa" ucap Ari lagi dengan senyum sendu. Ada kecewa yang tersirat dalam senyum itu.
"Jaga kesehatan Fif. Aku nggak akan minta kamu untuk nungguin Aku. Karena Aku tau aku nggak pantas meminta hal itu."
"Ketika ada orang yang berniat baik untuk meminang kamu. Jangan di tolak. Aku pergi cukup lama dan tidak bisa menjamin untuk bisa kembali. Aku nggak mau jadi orang jahat untuk kedua kalinya dengan memaksa kamu nungguin Aku"
"Aku sayang kamu Fif. Kamu tau itu"
"Aku minta maaf karena sudah buat kamu kayak gini. Sedih,menangis dan merasa ditinggalkan"
Mendengar semua omongan Ari, membuat air mata Afifah kembali luruh. Gadis itu menahan agar tak terisak.
Kata-kata Ari seakan melukainya. Menyakiti tepat pada luka yang selama ini Afifah takutkan akan semakin parah. Kehilangan abinya kembali terekam di kepalanya. Membuat gadis itu menutup matanya berusaha menghilangkan ingatan menyakitkan itu.
Afifah benar-benar trauma dengan kehilangan. Bagaimana harus menghadapi keadaan yang dulunya ada satu orang yang sering muncul dihadapan kita dan tiba-tiba lenyap begitu saja.
Afifah benar-benar sulit menghadapi situasi seperti itu bahkan semua orang juga pasti merasa kesulitan.
Sebuah shal hijau muda dengan gambar kodok di sudutnya terulur di hadapannya.
"Hapus air matanya. Kalau nanti kita di takdirkan untuk bertemu kembali. Aku harap kamu udah berubah. Udah nggak cengeng lagi" celetuk Ari.
Afifah tak menanggapi hanya isak tangis yang terdengar dari gadis itu. Ari hanya menipiskan bibir tidak memaksa Afifah untuk berbicara. Ia merasa bersalah telah menjadi orang yang buruk untuk Afifah.
Kata-kata Ari barusan tidak hanya melukai Afifah tapi juga melukai dirinya sendiri. Ari sangat ingin Afifah menunggunya, sangat ingin diantar saat ia berangkat nanti setidaknya Afifah ada disana melambaikan tangan untuknya sambil tersenyum. Ari tidak ingin ada orang lain yang ditatap sayang Afifah selain dirinya. Hanya saja terlalu egois jika Ari meminta hal itu sedangkan dirinya tidak bisa menuruti kemauan Afifah agar tetap di sini.
Sejak semalam Ari sudah mempertimbangkannya untuk tidak meminta Afifah menunggunya dan mengharapkannya. Meski berat Ari harus bisa melewatinya.
Jika Afifah untuk Ari. Pasti tanpa diminta Afifah akan tetap menunggunya.
"Cita-cita kamu hari ini memang buat diam?"
Afifah menggeleng masih dengan isakan pelannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arafah
Teen FictionCinta datang tanpa syarat bahkan bisa dari orang yang sangat kita bencipun cinta bisa tumbuh. Seiring berjalannya waktu tak ada yang bisa menentukan kemana hati kita akan mengarah. Jatuh cinta padamu, berencana untuk berhenti mencintaimu atau justr...