Afifah merasa bosan melihat Ari mondar mandir di depannya seperti setrikaan. Cowok itu terlihat pusing sendiri seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tau mulai dari mana.
Sudah beberapa hari ketika Afifah siuman, Ari selalu datang melihatnya walau hanya sebentar.
Biasanya dia datang dengan maksud yang jelas walau yang ia katakan selalu saja tidak jelas. Tipekal Ari.
Kadang ia hanya membawa buah-buahan. Atau cuma nyuruh Afifah minum obat habis itu langsung pulang. Lebih parah kemarin Ari hanya datang berdiri di depan pintu beberapa menit dan kembali pulang. Kata Adrian sebenarnya Ari mau ke tempat latihan tapi harus menyempatkan diri melihat Afifah walau hanya sebentar.
Sudahlah Afifah tidak heran lagi kalau Ari bersikap seperti itu. Diakan memang aneh. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dipikirkannya.
"Bisa diem nggak sih" tegur Ibam pada akhirnya. Cowok itu juga ikut lelah melihat Ari seperti itu dari tadi.
"Bunda bisa nggak Ari ngomong sama Afifah"
"Ngomong aja" jawab Umi ramah."Tinggal ngomong elaah" omel Ibam lagi. Ari ingin sekali menyumpal mulut peternak pororo itu. Jika saja ia lupa kalau dia adalah salah satu orang terpenting dalam hidup Afifah.
"Mau ngomong apa? Diem dulu"pinta Afifah.
Keadaan gadis itu semakin membaik,ia mulai bisa duduk dan tidak merasa terlalu pusing lagi.
Syukurlah jadi rumah sakit ini tidak jadi dibakar oleh Ari.
Ari duduk di sebelah Ibam yang duduk disamping Umi yang tengah menyuapi Afifah.
"Gini..." prolognya
"Gini apaan?" Tanya Ibam. Ia senang melihat Ari gugup. Emang apasih yang mau diucapin cowok ini.
"Fif lo jangan marah" Umi tertawa mendengar ucapan Ari yang terdengar terbata-bata. Tapi ia membiarkan tanpa berniat untuk pergi dari sana. Perempuan paru baya itu tau kalau sebenarnya Ari malu mengatakannya sedari tadi karena ada dirinya disana. Tapi menurutnya Ari harus mengatakan apapun dihadapan orang tua. Jangan malu-malu karena dia laki-laki harus punya keberanian.
"Emmmm..."
"Wahahahahaahahhaha" Ibam tertawa lepas dan sedikit berisik "lucu banget kalau lo yang bingung. Ekspresi lo nggak cocok. Arghhhh sakit"
Saat Ibam sibuk menertawakannya, dengan penuh dendam Ari diam-diam menginjak kaki Ibam dibawah sana membuat cowok itu meringis
"Fif, Bunda, Ari bakal tetap jadi tentara" ujar Ari begitu cepat. Seperti satu tarikan nafas saja.
Reaksi Umi dan Afifah jelas-jelas berbeda. Umi terlihat sumringah mendengar pernyataan Ari karena menurutnya Ari memang harus punya impian. Dia berhak mewujudkannya.
Sementara Afifah seketika ingin menangis. Pikiran buruk dan rasa bersalah kembali menyelimuti pikirannya. Dia yang meminta Ari untuk pergi, ia yang menyuruh Ari untuk jadi tentara. Semua yang dilakukan Ari adalah permintaannya namun kenapa sekarang saat Ari benar-benar bermimpi dengan hal itu. Afifah malah ingin menghentikannya.
Ia benar-benar egois. Seolah seperti dia yang memegang kendali atas hidup Ari.
Tapi Ari berhak mengejar mimpinya, bukankah sebuah keajaiban karena Ari sudah memiliki mimpi bukan seperti saat pertama Afifah melihat cowok itu. Hidupnya kosong tanpa impian. Tatapan matanya benar-benar gelap tanpa binar seperti sekarang. Ketika Ari pulang dari latihan dan menceritakannya pada Afifah, cewek itu bisa melihat binar semangat dari mata Ari.
Ketika Ari bercerita tentang keadaannya saat latihan,sebenarnya Afifah sudah sadar kalau Ari akan tetap pergi. Namun gadis itu terlalu melindungi dirinya dengan cara berpikiran bahwa Ari pasti akan tetap bersamanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/156785753-288-k276128.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arafah
Fiksi RemajaCinta datang tanpa syarat bahkan bisa dari orang yang sangat kita bencipun cinta bisa tumbuh. Seiring berjalannya waktu tak ada yang bisa menentukan kemana hati kita akan mengarah. Jatuh cinta padamu, berencana untuk berhenti mencintaimu atau justr...