8-Hukuman

906 61 0
                                    

Hari selasa pagi adalah hari paling mendebarkan bagi Afifah, jadwal mata pelajaran kimia terpampang jelas di rosternya.

"Bismillah ya Allah" batin Afifah saat gadis itu berjalan menuju kelasnya.

Bu Andara sudah duduk di kursi guru dengan kacamata tebalnya, Afifah yang kebetulan adalah kelompok satu mau tidak mau harus maju duluan untuk mempresentasekan hasil diskusinya.

"Kenapa cuma tiga orang? Yang satunya belum di petik dari pohonnya yah?" Desyar......kalimat pertama yang di lontarkan Bu Andara saat melihat kelompok Afifah tidak lengkap. Ari benar-benar tidak muncul sejak hari itu.

"Kita presentase tiga orang saja Bu" Adrian berusaha memberanikan diri.

"Saya tidak tanyakan itu, yang saya tanyakan satu orangnya mana Adrian?" tekan Bu Andara.

"Nggak ada kabar Bu" Tambah Adrian lagi. Afifah dan Aqila tidak bisa angkat bicara.

"Yah....cari kabar dong!!! Saya tidak suka murid yang malas pusing yah!!!" lagi-lagi Bu Andara menekan kalimatnya membuat lutut mereka bertiga gemetar hebat.

"Tapi kita bisa presentasekan Bu?" dengan lutut bergetar Afifah memberanikan diri untuk bertanya.

"Diam kamu...!!! Saya sedang bicara dengan Adrian"

"Gilaaa......guru galak ini hormon masa mudanya masih aktifmaunya bicara sama Adrian aja yang ganteng giliran sama Afifah dia nggak mau" Aqila mengomel dalam hati.

"Kalian bertiga harus dapat hukuman seperti perjanjian di awal, HAPAL SEMUA NAMA-NAMA UNSUR YANG ADA DALAM TABEL PERIODIK!!!"

JENGJENGJENG.

Melihat Afifah menunduk, Adrian berusaha untuk angkat bicara lagi "Bu, biar kita bertiga saja yang presentase, nggak apa-apa kok Bu" Adrian menyatukan kedua tangannya dengan raut wajah memohon.

"Kalian semua tau kan, saya ini guru berprinsip!!! Sekali tidak tetap tidak. PAHAM" Bu Andara menekan kata paham. Matanya melotot ke arah Adrian.

"Tap......"

"DUDUK...!!!" bentak Bu Andara lagi, tapi ketiga anak itu tidak sedikitpun bergerak dari tempatnya berdiri.

"Duduk nggak...? Atau saya yang duduk...!!"

"Kan memang Ibu sudah duduk dari tadi" Mampus, kali ini Aqila keceplosan lagi.

"Berani kamu yah???" matanya menyorot Aqila tajam. "Duduk atau saya jemur kalian menghadap tiang bendera" Suara Bu Andara semakin keras membuat mereka bertiga goyah, dan memilih untuk duduk di kursi masing-masing.

"Kalian semua dengar, Ibu tidak mau masalah seperti tadi terulang lagi. Punya kelompok kok cacat." Bu Andara masih saja mengomel.

"Yeee...dasar perawan tua!!!" desis Aqila. Untung Bu Andara tidak dengar.

***

Hingga malam hari, kejadian di sekolah tadi pagi masih terngiang di kepala Afifah membuat raut wajah gadis itu begitu lesu. Afifah memilih untuk terus diam walau hingga sore tadi Ayana dan Aqila berusaha untuk menghibur dirinya.


Di kamarnya Afifah memilih berbaring saja bersama boneka bonekanya yang salah satunya adalah boneka pemberian Adrian yang ia beri nama Triatma.

Oh yaaa.....bicara soal Adrian. Pria itu benar-benar tidak lagi pernah modus pada Afifah. Pria itu memilih untuk memperlakukan Afifah seperti teman biasa. Tidak ada lagi ungkapan dan tatapan aneh dari Adrian membuat Afifah merasa tidak lagi terganggu dengan kelakuannya. Namun, soal Ari belum ada kabar, pria itu benar-benar menghilang.

"Assalamualaikum" suara Uminnya memecah keheningan yang diciptakan Afifah di dalam kamarnya.

"Afifah" wanita paruh baya itu mengusap puncak kepala Afifah dengan lembut.

"Umi" melihat Uminya datang, Afifah memilih bangun dan duduk di dekat uminya.

"Kamu kenapa sayang, cemberut gitu?"

"Kenapa sih Umi, Afifah nggak bisa menghapal dari dulu?" tanya Afifah sambil menatap Uminya

"Umi juga nggak tau sayang, barangkali kamu memang nggak punya kemampuan itu" ucap perempuan paruh baya itu lembut.

"Nggak mungkin Umi, semua teman Afifah bisa. Tapi Afifah selalu sakit kepala kalau menghapal"

"Kalau kamu nggak bisa, nggak usah di paksain sayang. Berusaha aja sebisa kamu yah" suara lembut Uminya terdengar sangat nyaman ditelinganya.

"Oh ya Umi, sebenarnya Aku mau cerita" Ucap Afifah pelan

"Cerita apa?" dengan raut wajah penasaran.

"Kalau Umi ada di posisi Afifah dan punya teman  otoriter yang membuat Umi kena hukuman dan hukuman itu adalah hal yang paling Umi nggak bisa lakukan. Umi akan bersikap seperti apa pada orang itu. Apa akan di maafkan atau marah?"

"Di maafkan" ucap Umi Afifah enteng.

"Kenapa?"

"Karena kalau Afifah marah untuk apa? Bukankah amarah adalah sahabat sejati dari kata jahat?"

"Tapi orang itu sudah benar-benar jahat Umi"

"Sayang, marah tidak akan memberi kamu hadiah apa-apa. Orang itu tidak akan berubah saat emosi dibalas dengan emosi. Tapi kalau dengan memaafkan hadianya surga sayang."  senyum wanita paruh baya itu terlihat sangat menenangkan.

"Umi, seandainya saja abi masih hidup, apa Abi akan sependapat dengan Umi?" tanya Afifah

"Pasti sayang, kamu tau kan Abi selalu nasehati kamu apa "

"Seribu kali memaafkan orang di kesalahan yang sama lebih baik dibanding dendam di satu kesalahan. Jika merasa tidak rela untuk memaafkan, percaya saja dengan Allah. Karena yang pantas menghukum seorang ciptaan adalah penciptanya sendiri" Ucap Afifah lirih saat mengingat sepenggal ucapan almarhum Abinya saat Afifah sebal ketika Ibam mengganggunya di masa kecil.

Afifah tersenyum kecil, gadis itu memeluk Uminya erat. Merasa ini adalah moment dimana pelukan seorang Ibu adalah energi yang paling ia butuhkan.

ArafahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang