Walaupun Afifah tidak mengatakan apa-apa selama sepekan terakhir. Ibam tetap paham, jika gadis itu sering menangis saat sendiri. Seperti beberapa hari yang lalu saat hari terakhir ujian nasional. Ibam tau, jika Afifah ingin sekali menemui Ari dan menceritakan kesulitannya selama ujian tapi Afifah tidak punya hak. Ari sudah jauh dari jangkauan gadis itu.
"Pip pulang yuk! Bosan ih main mulu" desis Ibam dan membuang bola basket secara asal.
"Bentar lagi Bam" ucapnya masih berusaha melempar bola basket ke dalam Ring.
Sudah pukul sepuluh pagi. Mereka berdua masih berada di luar. Padahal mereka berangkat sejak usai sholat subuh. Awalnya Afifah hanya mengajak Ibam lari pagi dan makan mie ayam depan komplek tapi malah keterusan dan gadis itu tidak ingin pulang terlalu cepat.
"Bam habis ini, kita ke mall yuk"
"Malas Pip. Ibam ingin istirahat"
"Kok Ibam jahat"
"Biarin. Demi kebaikan tulang Ibam" Ibam menjulurlan lidah lalu beranjak meninggalkan Afifah yang segera mengekor di belakangnya.
"Ya udah hari ini boleh istirahat. Tapi Ibam harus janji besok kita mendaki yah ke gunung yang belakangan ini lagi viral"
Ibam menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Afifah. Menatap lekat-lekat gadis dihadapannya. Tangannya menyentuh dahi Afifah "Masih sehat?"
Mendapat perlakuan seperti itu, Afifah menepis tangan Ibam "Selagi masih sehat Apip ingin mendaki"
"Jangan keras kepala" tegas Ibam
"Jangan buat Aku menyesal. Kalau misalnya operasinya nggak berhasil. Masa iya dalam hidup Aku nggak pernah ngerasain yang namanya mendaki" ucap Afifah lalu beranjak pergi meninggalkan Ibam.
Setelah Afifah pergi. Ibam tidak langsung menyusul, ia tertegun di tempatnya. Mencerna perkataan afifah. Sepertinya gadis itu benar-benar putus asa dengan hidupnya.
Ucapan Afifah terasa begitu menyakitkan jika dibayangkan. Ibam tidak pernah ingin dan tidak pernah membayangkan jika suatu hari nanti Afifah tidak bersamanya. Hampir setiap hari mereka bersama. Di mana ada Afifah di situ ada Ibam. Di mana ada Ibam di situ ada Afifah. Apa jadinya dia jika Afifah tidak bersamanya. Ibam tidak pernah merasa kesepian karena adanya Afifah. Lalu bagaimana jika operasi itu tidak berhasil?
Ibam menggelengkan kepala tidak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi. Ia beranjak menyusul Afifah yang sudah jauh sekali berjalan.
***
Ibam berlari pulang kerumah. Ia melewati rumah dan mampir ke rumah Afifah. Ia tidak menemukan gadis itu di jalan tadi. Ibam mengitari seisi rumah yang cukup luas namun seperti tak berpenghuni. Umi pagi-pagi pasti belanja ke pasar lalu si anak sholeh yang sedang galau itu di mana?.
Batang hidungnya tak terlihat. Apa ia Afifah belum pulang ke rumah. Ibam berhenti di ruang makan sambil mencomot buah yang baru diambilnya dari kulkas. Jika Afifah belum pulang. Lalu kenapa pintu depan tidak terkunci. Tak menyerah Ibam kembali mengelilingi seisi rumah hingga ia menemukan sesuatu di dapur. Mainan APR.
Ibam membuka pintu belakang dan berdecak. "Aelah...kalau di panggil itu nyahut Pip"
"Nggak denger"
Astagah apa iya suara Ibam yang menggelegar ini tidak terdengar di kuping orang yang sedang galau.
"Apr. Kok lo tambah gemuk sih. Resepnya apaa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arafah
Teen FictionCinta datang tanpa syarat bahkan bisa dari orang yang sangat kita bencipun cinta bisa tumbuh. Seiring berjalannya waktu tak ada yang bisa menentukan kemana hati kita akan mengarah. Jatuh cinta padamu, berencana untuk berhenti mencintaimu atau justr...