Dihari minggu ini, Anna dan Arthur sedang berada di rumah sakit untuk memeriksa kandungan Anna. Karena ia sama sekali belum memeriksa kandungan Anna semenjak ia tahu kalau dirinya itu tengah mengandung.
Jujur saja Anna tidak suka semua ini. Baginya ini salah, seharus nya ia pergi ke tempat aborsi, bukan ke Dokter Kandungan.
"Gue mau pulang!" rengek Anna dengan tiba-tiba, yang saat ini posisinya sudah tiduran di brankar dengan Arthur di sampingnya.
"Anna, kita harus nunggu dokternya dulu. Baru abis kamu di periksa, kita bisa pulang... sabar ya, Na." Arthur sudah sangat sabar menghadapi Anna yang sangat keras kepala. Arthur akan mencoba menerima semua ini dengan ikhlas.
Anna sungguh malas mendengar bualan Arthur. Dan ditegaskan sekali lagi, bahwa Arthur tadi memanggilnya dengan sebutan 'kamu' yang membuat Anna mendengarnya pun muak.
"Kan gue udah bilang... gak perlu diperiksa segala, toh abis ini dia mati." Nadanya terdengar sangat santai. Anna mengucapkannya dengan enteng.
"Anna... jangan ngomong kayak gitu, Na."
"Kenapa emang!?" tekan Anna.
"Dia juga anak kamu... anak kita."
"Cih! Anak gue? Asal lo tau... gue gak pernah mau anak ini hadir. Anak ini itu cuma benalu dan dia cuma anak lo, bukan anak gue!" Arthur sungguh menyesal. Arthur menyesal telah membuat Anna seperti ini, seperti manusia yang tidak memiliki hati nurani dan berkata kasar pada calon anaknya.
Tidak lama dokter pun datang, lalu Anna langsung membuang muka asal.
"Selamat siang, saya Dokter Zava. Kalian pasti Anna dan Arthur ya?" sapa sang dokter sopan.
"Ah, iya dokter. Saya Arthur dan ini, istri saya Anna," jawab Arthur dengan senyum ramah.
Anna hanya mendelikan bahunya tidak peduli, apalagi setelah Arthur mengatakan bahwa Anna adalah istrinya. Sungguh Anna ingin teriak dan mencakar wajah Arthur sekarang juga.
"Mbak Anna, selama hamil sekarang ini, sering merasakan pusing dan mual, tidak?" tanya sang dokter sembari mempersiapkan alat untuk memeriksa janin Anna, lalu hanya direspon dengan anggukan malas.
"Maaf ya mbak, bisa dibuka sedikit bajunya," ucap sang dokter ketika ingin memeriksa perut Anna, sementara Arthur yang mengerti pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
Di monitor sangat jelas, bentuk janin kecil yang ada di dalam perut Anna.
"Mbak Anna, nih liat janin nya masih kecil banget. Jangan stres dulu ya mbak, gak baik buat kesehatan janin dan Ibunya." Anna dan Arthur yang mendengar pun langsung segera menoleh ke monitor.
"Itu anak saya dok?" tanya Arthur, dengan mata berbinar dan rasa bahagianya.
"Iya mas Arthur. Saya akan memberikan vitamin dan hasil check up-nya, setelah ini." Dan dokter pun keluar untuk mengambil vitamin.
"Jangan pernah lo sebutin kata-kata istri lagi, di depan gue! Gue bukan istri lo!!!!" Kali ini Anna membuka suara sambil berusaha bangun dari tidurannya itu.
"Sekarang emang kamu belom jadi istri aku, tapi sebentar lagi kita bakal nikah. Jadi otomatis kamu istri aku."
"Gue gak pernah sudi nikah sama lo!!! Gue liat muka lo aja udah muak, tau gak sih... apalagi kalo sampe nikah, bisa gila gue." Ucapan Anna benar-benar menusuk perasaan Arthur. Sebenci itukah Anna padanya.
"Lo tuh ngaca seharusnya, sialan! Kalo lo itu cuma sampah di hidup gue. LO SAMA BAYI SIALAN INI CUMA SAMPAH DI HIDUP GUE!" emosi Anna memuncak, sampai terlihat matanya yang berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDES
RomanceHighest rank: #1 in Fiksiremaja #1 in Cerita #3 Pregnant #5 teenfiction #8 in Benci #8 in Pregnant ...