Sepanjang jalan hanya diisi dengan keheningan pasutri yang sibuk akan kegiatannya masing-masing. Anna yang sibuk memainkan ponselnya dan enggan membuka suara untuk sekadar berbicara dengan suaminya. Sedangkan Arthur sedang fokus menyetir, serta otaknya yang terus berputar memikirkan cara untuk berbicara pada Anna.
Arthur berniat mengajak Anna ke dokter spesialis kesehatan mental siang ini. Mengingat Anna yang hampir tidak tidur karena mimpi buruk yang terus menghampirinya. Namun Arthur ragu, karena ia yakin Anna akan menolaknya.
"Na?" panggil Arthur pada Anna. Sedangkan Anna tidak menyahutinya dan masih terus memainkan ponselnya.
"Kamu mau gak, ke dokter psikolog?" Arthur bertanya dengan hati-hati. Anna yang mendengarnya langsung menoleh ke arah Arthur dengan tatapan tajam seakan ia tidak setuju.
"Ngapain? Lo pikir gue gila?" tanya Anna dengan nada penuh penekanan. Sedangkan Arthur menghela napas berat dan melanjutkan membujuk Anna agar mau ke dokter psikolog.
"Bukan gitu maksud aku, Na," jawab Arthur pelan.
"Terus apa?!"
"Aku khawatir tentang mimpi buruk kamu." Jawaban Arthur membuat Anna diam. Ia pun juga takut sebenarnya. Tapi ia tidak suka Arthur yang ikut campur ke dalam kehidupannya. Sedangkan Arthur lah yang menyebabkan Anna memimpikan malam buruk itu.
"Kamu hampir gak tidur, Na. Aku mau ngilangin mimpi buruk itu dari ingatan kamu." Anna tersenyum simpul mendengar ucapan Arthur.
"Cih! Lo sadar gak sih? Apa pura-pura lugu. Menjijikan banget sih! Mimpi sialan itu yang nyebabin Lo! Sadar gak?!" desis Anna seraya menatap tajam manik Arthur. Sementara Arthur merasa lemas mendengarnya, bahkan ia merasa tercekat dan sulit bernapas sementara. Sangat sakit hati Arthur mendengar perkataan Anna. Walaupun semua itu adalah fakta.
"An–Anna... aku-"
"Berhenti sok peduli sama gue! Percuma... gue gak akan peduli juga sama lo!" Anna membuang tatapan kembali ke layar ponselnya itu. Arthur membeku. Pikirannya kalut, bahkan ia sangat lemas saat ini. Semakin hari Arthur merasakan penyesalan yang mendalam.
Bahkan Arthur tetap tidak bisa membalas perkataan Anna. Pendirian Arthur runtuh seketika melihat Anna yang benar-benar benci padanya. Arthur menghela napas pasrah, lalu kembali membujuk Anna.
"Iya aku tau... aku minta maaf. Mimpi buruk kamu yang nyebabin aku. Tapi kamu harus periksa ke psikolog, Na." Anna berdecih malas ketika mendengar Arthur kembali berbicara padanya.
"Gue gak mau!" tolak Anna dengan sinis.
"Anna, aku tau kamu juga kesiksa sama mimpi itu. Kamu juga gelisah kan, setiap mimpi itu dateng. Aku mohon sama kamu, nurut Na..." nada bicara Arthur sangat lembut. Hal itu membuat hati Anna berdesir nyeri. Anna tidak bisa jika Arthur sudah berbicara memohon padanya seperti tadi. Apalagi ucapan Arthur ada benarnya. Anna sangat tersiksa dengan mimpi buruknya itu.
"Kenapa sih? Kenapa gue harus nurut sama lo? Bisa gak sih... sehari aja lo gak usah peduli sama gue?" Ucap Anna dengan lirih. Hal itu membuat Arthur sedikit merasa bersalah karena sudah memaksa Anna. Walaupun lebih tepatnya membujuk.
"Aku sayang sama kamu Anna... aku calon Papa buat anak yang ada di kandungan kamu. Hal itu yang buat aku peduli sama kamu..." Anna benci ketika Arthur selalu membawa-bawa tentang kandungannya itu. Ia muak mendengar ucapan Arthur yang menurutnya hanya lah bualan semata.
"Sayang? Cih! Terserah lo aja deh sekarang... dari awal kan emang hidup gue udah di mainin sama takdir." Arthur sedikit bingung dengan perkataan Anna.
"Maksud kamu?" tanya Arthur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDES
RomanceHighest rank: #1 in Fiksiremaja #1 in Cerita #3 Pregnant #5 teenfiction #8 in Benci #8 in Pregnant ...