Anna hanya termenung dalam posisi duduk di atas brankar rumah sakit. Gadis itu menatap ke arah jendela yang berada tepat di depannya. Pandangan luar lebih menarik baginya untuk di pandang, daripada memandangi nasibnya saat ini. Anna marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri. Bahkan ia sudah mengutuk dirinya sendiri berulang kali. Bagaimana hidupnya bisa semenyedihkan ini.
Pikiran nya dikaluti dengan perkataan sang papa yang terus mengatakan ia akan menikah dua hari lagi. Anna memang tidak ikut campur dalam persiapan pernikahannya, karena ia masih kurang sehat dan juga memang ia tidak mau mengurus itu semua.
Ingin sekali Anna mengatakan kalau semua orang tidak berpihak padanya saat ini. Anna sekarang yakin, kalau orang tuanya sudah tidak sayang lagi padanya, karena mereka tidak mendukungnya sama sekali.
Tidak disadari mata Anna mengeluarkan air mata. Sudah kesekian kalinya ia menangis pagi ini. Mulai dari mimpi buruk yang terus mendatanginya, sampai semua masalah hidupnya yang ia tangisi berulang kali. Anna bahkan lelah menangis terus, namun ia tidak tahu harus melampiaskan bebannya dengan cara apa. Anna tahu kalau dirinya tidak boleh dibebani oleh pikiran, tetapi ia tidak bisa berhenti memikirkan kehidupannya yang sudah hancur ini.
Saat ini Anna hanya berdua di dalam ruangan kamar rumah sakit dengan Arthur. Akhir-akhir ini Arthur selalu menjaga Anna, bahkan ia rela terus-menerus membolos sekolah hanya demi menjaga Anna. Arthur selalu memperlakukan Anna dengan baik dan lembut, namun Anna tidak seperti biasanya. Anna tidak menolak perlakuan Arthur akhir-akhir ini. Arthur berpikiran kalau Anna sudah menerima dirinya, walau Anna sering diam dan tidak banyak bicara.
Anna sudah menyerah, ia rela hidup bagaikan boneka hidup. Ia memang hanya diam dan tidak menolak atau membantah perlakuan Arthur padanya, karena itu semua percuma baginya. Dia tetap tidak bisa lepas dari hidup sialnya ini.
"Makan ya, Na? Aku suapin." Arthur membuyarkan lamunan Anna. Segera di hapus air matanya, lalu menoleh ke arah Arthur dan hanya merespon dengan mengangguk pelan serta ekspresi wajah yang datar. Arthur pun menyiapkan makanan untuk Anna. Dan langsung mendudukan dirinya di sisi brankar.
"Aakk!" Arthur menyuruh Anna membuka mulutnya guna memasuki sesuap makanan pada mulut Anna. Tidak ada penolakan seperti sebelumnya, raganya memang menerima, namun tidak dengan jiwanya. Anna bagaikan manusia yang sudah mati jiwanya, tetapi raganya terus hidup.
Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Olivia yang datang untuk menjenguk Anna. Perasaan Anna sungguh senang ketika melihat Olivia yang datang menjenguknya, namun ia merasa sudah mati di dalam dan hanya tersenyum melihat kehadiran sahabatnya itu.
"Anna!!! Gue dateng!" Olivia memang selalu heboh. Arthur yang melihat Olivia datang juga senang, karena Olivia bisa membuat Anna merasa terhibur. Sedangkan Anna hanya membalas dengan senyuman.
"Nih, Aakk lagi Na!" Arthur menyodorkan suapan kedua pada Anna. Olivia yang melihat hal tersebut merasa bahagia, karena dilihat Anna yang sudah bisa menerima Arthur.
"Pinter banget lo makannya," ucap Olivia. Anna hanya diam tidak mengubris perkataan Olivia. Tentu hal itu membuat Olivia bingung, ada apa dengan sahabatnya itu.
"Iya lah... gue yang suapin," sela Arthur dengan percaya diri dan membuat Olivia ingin menjitak kepala Arthur sekarang juga.
"Dih, pede amat lo! Anna emang laper, makanya mau makan," protes Olivia. Sedangkan Anna hanya fokus melihat ke luar jendela dan tidak memedulikan perdebatan Olivia dan Arthur.
Olivia menyadari ada yang berbeda dari Anna, ia menjadi sangat diam. Olivia sangat mengenal Anna. Semarah apapun Anna, ia tidak pernah menjadi sangat diam seperti ini. Hal tersebut membuat Olivia sedikit khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDES
RomanceHighest rank: #1 in Fiksiremaja #1 in Cerita #3 Pregnant #5 teenfiction #8 in Benci #8 in Pregnant ...