Tavish menatap Sierra dengan tatapan tidak percaya. Sierra membentaknya. "Kamu bentak aku?"
Sierra membuang nafasnya kasar. Pria ini benar - benar. Kenapa jadi drama begini?
"Aku coba buat bicara baik - baik sama kamu. Tapi kamu selalu potong omongan aku. Terus gimana caranya aku jelasin sama kamu kalau kamu aja gak mau dengar dulu penjelasan aku."
Tavish berniat membantah ucapan Sierra tapi langsung wanita itu tahan. "See! Kamu sendiri mau potong omongan aku lagi."
Ujungnya, Tavish kembali menelan lagi kata - kata yang ingin di keluarkannya. Kini dia menatap Sierra datar dan mengunci mulutnya. Memberikan wanita itu waktu untuk menjelaskan. "Bisa aku bicara sekarang?" Tanya Sierra yang mulai bisa menahan amarahnya. Didepannya Tavish justru bertingkah seperti anak kecil. Pria itu membuang pandangannya dan mengangguk singkat.
Astaga!
Menarik nafasnya dalam - dalam. Sierra kini mengubah duduknya menjadi mengarah sepenuhnya ke depan pria yang sedang merajuk ini. Sierra memegang bahu Tavish dan mengarahkannya untuk menghadap kearahnya. "Bisa lihat aku sebentar?" tanya Sierra dengan lembut. "Daan."
Sampai akhirnya pria itu mau menghadap kearahnya dan menatap kedalam matanya baru Sierra mengeluarkan pendapatnya.
"Bisa jangan tatap aku dengan wajah seperti itu?" Tavish mengalihkan tatapannya ke arah lain dulu baru bisa kini menatap Sierra dengan tatapan yang lebih lembut.
"Bayi besar kalau ngambek ternyata susah juga dibujuk." Sierra menggoda Tavish dengan tatapan jenakanya. Dia benar - benar tidak habis pikir akan sifat Tavish yang berbeda jika berada di kantor. Pria yang dingin, datar, dan galak. Ternyata bisa juga berubah seperti anak kecil yang manja dan tak mau mengalah.
Bibir pria itu merengut diberi panggilan bayi besar. Tapi didalam hatinya ada sebuah kesenangan mendengar Sierra memanggilnya seperti itu.
"Dengarkan aku, ini bukan perkara aku malu atau gak suka pacaran sama kamu. Tapi perkara dimana orang lain akan ikut campur dan bikin suasana kantor jadi gak nyaman. Aku begini karena aku tahu kamu mungkin gak bakal peduli hal itu. Tapi aku peduli."
Sierra menarik kedua tangan Tavish yang sejak tadi tergenggam di atas paha laki-laki itu. Dia membawa tangan besar itu ke arahnya dan membuka genggaman Tavish yang cukup kuat. Sierra memasukkan tangan kecilnya ke dalam genggaman Tavish.
"Jangan marah. Aku gak suka kalau kamu bersikap seperti tadi. Semua masalah bisa di selesaikan dengan kepala dingin. Kalau kita bertengkar dan gak ada salah satu yang mau mengalah. Hubungan ini gak akan bertahan lama." Tangan Sierra yang berada dalam genggaman pria itu diremat dengan sedikit kuat. Sierra tahu jika Tavish mendengarkannya.
"Aku gak mau hubungan kita berakhir semudah itu. Kita bukan remaja labil lagi. Hubungan ini tentunya harus berjalan dengan serius antara aku dan kamu. Tapi aku gak bisa menebak bagaimana masa depan. Karena itu aku ingin kamu juga bisa pahami keadaan."
Sierra menatap kedalam mata hijau Tavish. Kini tatapan Tavish berubah. Menjadi lebih hangat dan penuh cinta ke arahnya. "Kalau memang waktu nya pas. Kamu mau publish hubungan kita. Aku gak akan marah. Tapi aku mohon jangan sekarang. Perlahan tapi pasti. Aku yakin pas saat itu tiba, aku gak akan nolak lagi kalau kamu mau kasih tau orang kantor, gimana?"
"Sampai kapan? Aku butuh batas waktu."
"Hmm... Tiga sampai lima bulan."
"Tiga bulan." Sierra menggeleng. "Tiga sampai lima bulan."
Tavish menolak. "Tiga atau tidak sama sekali." Tekannya yang mau tidak mau membuat Sierra kembali pasrah menurut.
"Oke. Tiga bulan. Tapi sebelum itu kita harus backstreet dulu."
"ck! Terus aku gimana kalau kangen kamu? Masa kita harus jadi orang yang pura-pura enggak kenal. Aku mana bisa tahan."
Ck! Bayi besar!
"Kita bisa ketemu di luar kantor." Saran Sierra. Kedua alis Tavish langsung naik turun. "Fine. Perjanjiannya, setelah pulang kantor kamu harus stay di apartemen aku."
"Tapi kalau aku lembur?"
"Mau enggak mau kamu harus bawa kerjaan kamu ke apartemen aku. Atau pilih aku temani lembur di kantor?" Tavish kembali menaik turunkan kedua alisnya. Ini win-win solution. Sudah jelas dia yang akan menang.
"Ck! Kalau di kantor kita bisa ketahuan."
"Jadi apartemen aku?"
"Oke. Apartemen kamu. Tapi aku gak akan setiap hari kesana. Aku juga mau me-time di apartemen aku sendiri."
Senyum jahil keluar dari wajah Tavish. "Oke. Aku juga akan ikut apartemen kamu."
Kedua mata Sierra melotot tajam. "Aku bilang me-time. Berarti aku mau sendiri menikmati waktu ku."
"I know. Aku janji enggak akan ganggu. Tapi kamu harus tetap ketemu aku setelah pulang kantor. Gimana?"
"Emangnya kita harus tiap hari ketemu? Kamu gak bosen ketemu aku di kantor dan di luar juga?"
Tavish menggeleng. Kedua hal itu berbeda. "Kalau kamu di kantor, aku enggak bisa dekat sama kamu. Karena keinginan kamu untuk backstreet ini. Tapi, kalau kita ketemu di apartemen, aku bisa dekat sama kamu. Dan hal itu penting dalam sebuah hubungan."
Sierra geleng - geleng kepala mendengar alasan konyol Tavish. Dia sudah tahu apa yang ada di isi kepala pria mesum ini.
"Jadi, deal?"
Menghembuskan nafasnya kasar. Sierra menjabat tangan Tavish yang menggantung menunggu jabatan tangannga. "Deal."
^^^
KAMU SEDANG MEMBACA
RED: He is A Mr. Perfect (Revision)
RomanceA SERIES OF 'COLOR OF LOVE'. 1st Sequel 'RED' 2nd Sequel 'PINK' 3rd Sequel 'GREY' 4th Sequel 'BLACK' Do not copy my works. If you find any similarities in names, places, or situations. It is just inadvertence. Rank: #3 keinginan (16/09/2020)...