RED 67

8.2K 375 32
                                    

Ditempat yang jauh disana, ada seseorang yang setiap malam nya diisi dengan isak tangis. Dia terus menerus menangis tanpa bisa menghentikannya. Rasa sakit di hatinya ternyata tidak semudah itu hilang.

Pria pertama yang di sudah dicintainya, pria pertama yang menjadi kekasih hatinya, pria pertama juga yang mencuri ciuman pertamanya.

Brengsek!

Flashback

"Aku cinta kamu Sierra. Selamanya." Kata Tavish sambil memeluk Sierra dari belakang. Keduanya berdiri di balkon apartemen milik Sierra.

Kebiasaan Tavish ketika pulang kerja. Pria itu akan datang ke apartemen Sierra untuk makan malam bersama. Tentunya dengan masakan Sierra.

"Jangan terlalu mengumbar cinta Daan. Aku takut jika kata kata tidak akan bisa bertahan lebih lama dari pada sebuah tindakan."

Tavish semakin menguatkan pelukan nya. Dia meletakkan kepalanya di ceruk leher Sierra. Nafasnya yang beray membuat tubuh Sierra merinding.

"Percaya padaku. Jika aku tidak akan pernah pergi. Aku akan selalu di sisi mu, sierra"

Di dalam ruangan gelap itu tangis Sierra semakin kencang. Mengingat akan segala hal yang di lalui nya dengan Tavish kembali justru semakin menyakitinya. Dia terus memukul dadanya yang sesak. "Kenapa sakit sekali." Raungnya.

"Pembohong! Kamu bohong Daan!" Makinya dengan kegelapan. Air matanya tidak bisa berhenti di mata indahnya, yang kini sudah memerah dan membengkak.

Sierra memeluk dirinya dengan kedua kakinya yang terlipat. Ini kurang. Pelukan ini tidak terasa hangat. Sierra meratapi nasibnya. Kali ini tidak ada lagi pelukan hangat milik Tavish yang bisa menenangkannya. Semua sudah tidak ada lagi. Hilang.

"Argh...." Sierra terus-menerus menangis. Pikirnya, mungkin esok semua beban menyakitkan itu akan hilang. Hilang bersama bayangan Tavish. Tapi ternyata tidak. Sudah lebih dari tiga hari dirinya mengurung diri. Dan sejak hari itu juga Sierra membuat Dino khawatir karena menghilang tiba-tiba.

"Pembohong... Dasar pembohong!" Sierra berjalan ke arah sofa dimana pria itu sering kali tertidur jika tak sengaja datang bertamu ke apartemen nya. Menidurkan tubuhya disana. Bau Tavish masih terasa di bantal Sofanya. Hal yang membuat Sierra entah kenapa jadi semakin merindukan pria pembohong itu. Sierra mengambil bantal itu dan memeluknya erat.

"Ini untuk yang terakhir kalinya Daan." Pesannya sambil memeluk bantal itu seolah dia merasa jika Tavish lah pria yang saat ini ada di dalam pelukannya. "Terimakasih atas rasa sakit yang kamu berikan Daan. Karena aku benar-benar mencintai mu hingga rasanya sesakit ini."

Disepanjang tidurnya, air mata Sierra yang terus menemaninya. Dadanya yang terasa sesak membuat nya sedikit sulit bernafas dengan baik. Hingga membuat tidurnya tidak nyaman malam ini.

Sampai dimana waktu matahari pagi menyinari wajah nya. Air mata di pipinya tidak mengering. Mata Sierra perlahan terbuka. Sangat berat untuknya membuka mata setelah menangis hampir semalaman.

Sierra mencoba mengerjapkan matanya. Kiranya pagi bisa membawa rasa sakit kemarin hilang. Ternyata masih terasa nyata sakitnya. Semua seolah menjadi abu-abu baginya. Otaknya juga tidak bisa berfikir dengan baik.

"Argh!" Dia memijat kepalanya yang terasa sakit. Pandangan nya juga sedikit mengabur.

"Mungkin ini efek menangis semalaman."

Sierra mencoba membangunkan tubuhnya. Mantap ke arah balkon yang persis menghadap di depannya. Tatapannya kosong. Entah apa yang harus di lakukannya sekarang.

Dirinya enggan untuk melakukan apapun. Sierra bahkan lupa untuk mengabarkan orang kantor jika dirinya kembali tidak masuk. Entah Nasta masih mau menerimanya atau tidak. Mungkin juga dia, si penggila sempurna, akan memecatnya. Biarkan saja. Sierra sudah tidak mau memikirkan hal itu. Justru mungkin Sierra akan bersyukur keluar dari sana. Bekerja satu kantor dengannya dan menatap matanya, entah mengapa dirinya tidak yakin dan sanggup.

Dering ponsel yang ada di sebelahnya membuat Sierra dengan malas mengangkat panggilan yang entah dari mana asalnya.

"Sierra, Lo enggak kerja lagi?!" Teriak Dino di seberang sana. Sierra masih tidak menjawab. Wanita itu merasa pikirannya masih kosong. Ini mungkin sudah yang kesekian kalinya Dino mencoba menghubungi Sierra. Dan untungnya pagi ini wanita yang membuatnya khawatir itu mengangkat telponnya.

Dino yang merasa aneh dengan keadaan Sierra memanggil wanita itu lagi. "Ra! Sierra!"

"Eh! Eh! Kenapa nangis?" Bukan jawaban yang ingin didengarnya. Justru Dino malah mendengar tangis menyedihkan Sierra. Pasti ada sesuatu yang salah dengan Sierra. Sudah tiga hari sahabatnya itu menghilang dan tak memberinya kabar.

Insting Dino entah kenapa langsung berfungsi. "Gua bakal ijinin lo lagi hari ini sama mas Nasta. Tapi janji setelah ini lo bakal jelasin ke gua ada masalah apa sebenarnya."

"...th..thanks"

"Lebih baik lo tenangin diri lo dulu. Gua bakal ke apartemen lo nanti. Jangan melakukan hal bodoh ra. Tunggu gua datang." Semua pesan itu hanya di balas deheman Sierra yang terdengar sangat berat.

Setelah Dino mematikan sambungan teleponnya. Sierra kini kembali menangis lagi.

"Jahat! Kamu jahat Daan!" Teriaknya  sambil melempar bantal sofa yang masih memiliki bekas aroma Tavish kearah balkonnya. 

Sampai kapan rasa sakit ini hilang, Tuhan? Doanya yang terdengar pilu.
Kenapa seorang Tavish Daan bisa membuat dirinya terluka hingga seperti ini. Kenapa pria itu tega. Kenapa?!

Sierra mencoba segala caranya untuk bisa melupakan rasa sakit yang ada di hatinya. Sungguh. Dia mencoba segala  cara. Tapi tak satupun berhasil membuat nya melupakan pria terjahat yang kemarin menyakiti nya.

"Cinta... Huh! Pembohong ulung!" Air matanya kembali turun. Rasa sesak di dadanya tidak bisa hilang. Kenapa sakitnya kembali muncul meskipun ini sudah berbeda hari.

Sierra memilih duduk di balkon apartemennya sambil menatap ke arah langit yang pagi ini terlihat cerah. Hal yang entah kenapa menurut Sierra sedang mengejek keadaannya pagi ini yang terlihat kacau.

"Kenapa kamu justru terlihat cantik pagi ini." Sierra kembali menghapus air matanya.

"Kamu tahu, hati ku sedang sakit. Dan kamu seolah mendukung rasa sakit ku."

"Kenapa...kenapa dia begitu..." Kembali Sierra menghapus air matanya. Kini disertai pukulan untuk dadanya yang sesak.

"Apa semua ini baginya mudah? Mengakhiri hubungan ini begitu mudah? Huh!"

"Kamu tahu langit, aku merasa bodoh.  Jatuh hati pada pria itu." Senyuman menyedihkannya bisa membuat siapa saja terenyuh. Sierra mencoba sebisa mungkin untuk kuat menahan tangis dan rasa sakit nya. Tapi kembali gagal.

Sierra mendengar berita akan adik Tavish yang menghilang. Dia turut sedih akan hal itu. Tapi, apa Tavish harus memutuskan hubungan dengannya hanya karena masalah itu? Sierra tidak habis pikir. Setelah beberapa hari menghilang dan tidak ada kabar. Dirinya diputuskan begitu saja. Tanpa penjelasan apapun.

Dan selama masa itu juga bagi Sierra adalah masa terkelamnya.

^^^

RED: He is A Mr. Perfect (Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang