Viola tidak terbiasa tanpa Axel dikehidupannya, semenjak ia bangun tidur ia langsung memikirkan tentang Axel. Ia sudah memakai seragam bajunya dengan rapi lalu berjalan kearah meja makan.
Meja makan tak seramai dulu saat Axel selalu datang untuk sarapan bersama keluarga Viola, semenjak kepergian laki-laki itu keluarga Viola banyak yang berubah, seperti ayahnya yang sekarang lebih overprotektif kepada Viola, lalu ibunya Viola yang sekarang sudah tidak seceria biasanya.
"Maaf Yah, harusnya Viola percaya sama Axel. Harusnya Viola lebih perhatian sama Axel," ucap Viola sambil menunduk.
"Harusnya kamu tahu itu lebih awal, sekarang dia sudah pergi dan tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi," ujar Bram, ia sangat kecewa dengan perlakuan putrinya itu kepada Axel.
"Kan Viola nggak tahu kalau Viola dijadiin bahan taruhan Yah."
"Kurang apa sih Axel, dia rela jagain kamu 24 jam, dia rela antar-jemput kamu dan bisa-bisa kamu cinta sama laki-laki lain."
"Maaf Yah."
"Ayah sudah anggap Axel itu sebagai pengganti Asa, Ayah sudah kehilangan Asa dan Ayah nggak mau lagi ngerasain kehilangan untuk kedua kalinya, Axel udah banyak ngerubah kita, dia bawa banyak kebahagiaan di rumah ini."
Sudah terlalu berat untuk Bram merelakan anak pertamanya. Sangat berat sampai-sampai ia sempat kehilangan senyumannya. Saat ia sudah menganggap kalau dunia ini mulai jahat Axel datang memberikan sentuhan kehangatan untuknya. Membuatnya memulai kembali kehidupannya tanpa Asa di sisinya.
"Maaf."
"Asal kamu tahu ya saat kamu masuk rumah sakit Axel yang jaga kamu 24 jam selama Ayah dan Ibu di luar kota, dia rela nggak makan dua hari demi jaga kamu, dia rela nggak mandi, dia rela nggak sekolah, dia rela ninggalin banyak kepentingannya demi kamu Vi, dia tuh sangat sayang sama kamu, rasa sayang dia lebih besar daripada rasa sayang Asa ke kamu."
Viola baru tahu itu semua, air matanya mengalir begitu saja, Axel sudah banyak berkorban demi ia dan bodohnya ia lebih milih laki-laki lain. Semua pengorbanan laki-laki itu hanya dianggap sebuah angin lalu dan sekarang ia menyesal karena telah membiarkan Axel pergi dari kehidupannya.
"Pokoknya kalau Axel sudah kembali Ayah ingin kamu minta maaf sama dia," ucap Bram sambil berjalan meninggalkan meja makan.
Bram kehilangan alasan ia tertawa, Axel yang selalu menjadi temannya sudah tidak ada di dekatnya membuat ia sedih, bagi Bram kehilangan Axel sama saja kehilangan Asa untuk kedua kalinya.
Viola berangkat sekolah diantar oleh Ibunya, ia bahkan selalu membiarkan air matanya mengalir begitu saja karena baginya air mata itu tanda kalau ia sangat sayang dengan Axel, tapi ia sadar kalau ia sudah telat menyadari perasaan itu.
Bagi Viola kehidupan di sekolah tidak ada yang menarik, sekarang sudah tidak ada lagi si biang onar yang membuatnya berteriak-teriak setiap pagi, tidak ada lagi yang membuatkan ia masakan setiap ia lapar, tidak ada lagi laki-laki yang selalu membantunya setiap ia butuh pertolongan.
Sepulang sekolah ia langsung ke makam kakaknya, ia berjongkok di depan makam Asa sambil mengelus batu nisan.
"Kak, Viola jahat ya, Viola udah buat Axel kecewa, sekarang Axel sudah nggak mau ketemu sama Viola lagi, sekarang dia sudah nggak peduli sama perasaan Viola, padahal Viola sudah sadar kalau sebenarnya Viola cinta sama Axel, seandainya kakak ngelihat Axel bilangin ke dia ya, di sini Viola nunggu dia pulang, Viola cinta sama dia dan makasih sudah suka sama Viola selama ini."
*****
Obe sedang duduk sofa teras rumahnya bersama Ibunya dari tadi ibunya berbicara panjang lebar, tapi tidak ada yang masuk ke dalam pikiran Obe. Mata laki-laki itu setia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip, entah sejak kapan ia suka dengan pemandangan itu, tapi ia tau kalau Axel lah yang membuatnya suka dengan bintang-bintang.
"Al kamu kenapa?" tanya Daniar karena melihat wajah anaknya seperti orang sedang sedih, Al adalah nama panggilan Obe di rumah, cuma sahabat-sahabatnya yang memanggil ia Obe dan itu semua karena Axel.
"Enggak papa kok mah," jawab Obe sambil tersenyum.
"Oh iya, kemana Axel biasanya kan dia sering nginap di sini kok sekarang jarang?"
"Semua salah Al mah, gara-gara aku Axel pergi jauh dan mutusin ikatan persahabatan kita."
Sekarang Daniar tahu kenapa anaknya terlihat sedih, Daniar paham kondisi anaknya sekarang, ia langsung memeluk tubuh Obe dengan erat.
"Kalau kamu mau Axel kembali ya berjuang jangan cuma diam."
"Al udah berjuang mah, tapi hasilnya tetap percuma, Al nggak nemuin informasi apapun tentang Axel."
"Kamu udah nanya siapa aja?"
"Al udah nanya guru, adik kelas yang dekat sama Axel, pokoknya semua orang yang kenal sama Axel."
"Kamu belum nanya sama tetangga Axel?"
"Belum mah, kata sahabat Axel dia udah nggak tinggal di rumah lamanya dan entah dia tinggal di mana sekarang."
"Kamu udah coba hubungin nomor Axel?"
"HP Axel sekarang Obe bawa kemarin HP dia jatuh pas berantem."
"Sini mamah pinjam."
"Nih mah."
Daniar pun menyalakan HP Axel, ia mencari sebuah sesuatu yang bisa dijadikan Informasi, ia membuka galeri lalu ia melihat sebuah foto yang bisa ia jadiin acuan.
"Nih lihat semua foto di HP Axel kebanyakan foto pas dia di pasar, besok kamu tanya-tanya aja sama semua orang yang ada di sana siapa tau ada yang tahu Axel ada dimana," ucap Diana sambil mengembalikan HP Axel kepada Obe.
"Terima kasih, mah kalau gitu Al mau ngabarin yang lain dulu," ucap Obe sambil tersenyum.
Sebuah cahaya harapan muncul, Diana senang karena bisa melihat anak semata wayangnya tersenyum lagi, Diana tersenyum melihat anaknya sekarang sudah berubah.
"Axel makasih ya karena kamu Al sudah berubah," gumam Diana sambil melihat kearah bintang-bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Axel (Tamat)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan seorang laki-laki yang berusaha untuk mengabulkan setiap impian sahabat-sahabatnya tanpa memikirkan tentang perasaannya sendiri. Ia yang selalu memendam perasaan sedihnya dan masa kelamnya sendiri. Ia yang sudah mencin...