52

160 21 4
                                    

Saat sedang perjalanan menuju parkir Axel, Obe, Nathan, Lyona, Viola, dan Helen tapi tiba-tiba mereka di cegah oleh salah satu laki-laki berpenampilan rapi sambil menggunakan kacamata hitam. Semuanya bingung melihat laki-laki itu karena mereka tidak mengenal laki-laki ini.

"Maaf, tapi saya disuruh untuk menjemput anda," ucap laki-laki itu sambil membungkukkan badannya dihadapan Axel.

Axel teringat dengan perkataan laki-laki tua yang mengaku sebagai ayah kandungnya dan akan mengirim satu orang untuk menjemputnya. Ia bingung harus menjelaskan tentang keadaan ini.

"Kenalan lo Xel?" tanya Obe sambil berdiri di samping kanan Axel.

"Bukan tapi gua tau siapa yang nyuruh dia ke sini," jawab Axel.

"Butuh bantuan buat nyingkirin dia?" tanya Nathan sambil berdiri di samping kiri Axel.

"Enggak. Gua akan ikut dia," jawab Axel.

Axel tau kalau ia menolak pasti akan terjadi hal yang tidak terduga dan kalau ia kabur pasti akan tertangkap oleh laki-laki ini jadi ia memilih untuk menyerahkan dirinya.

"Nath gua titip Viola, antar dia ke rumahnya," ucap Axel sambil memakai jaketnya.

"Lo yakin pergi sendiri?" tanya Obe.

"Gua bisa jaga diri, gua cuma pergi sebentar," jawab Axel.

Axel menatap Viola sambil tersenyum. Ia melihat pacarnya itu sedang kebingungan dengan keadaannya sekarang. Ia mendekat lalu memeluk tubuh pacarnya itu dengan erat.

"Aku nggak papa. Ini bukan masalah besar jadi tenang aja," bisik Axel di telinga Viola.

"Nanti malam kita jadi kencan kan?" tanya Viola.

"Pasti dong, jadi kamu sekarang harus siap-siap dulu."

"Hati-hati Xel."

"Iya Vi."

Axel berjalan menjauh dari sahabat dan pacarnya tentu saja di ikuti oleh laki-laki tadi. Ia masuk ke dalam sebuah mobil putih yang sudah terparkir di depan sekolah saat ia masuk ternyata sudah ada sopir yang sudah siap di dalam.

"Kita berangkat," ucap laki-laki yang tadi menjemput Axel.

"Siap," ucap sopir tersebut.

"Bukannya sekarang waktunya kalian mengenalkan diri?" tanya Axel.

"Maaf atas keteledoran saya. Nama saya Gading, saya bertugas sebagai pengawal ayah anda," ucap laki-laki tersebut sambil menundukkan badannya.

"Nama saya Zalfar dan saya bertugas sebagai sopir," ucap laki-laki yang sedang menyetir mobil.

Axel menghembuskan nafasnya. Perkiraannya bener tentang siapa yang menyuruh orang itu menjemputnya. Ia memijat kepalanya karena bingung harus melakukan apa.

Tak lama kemudian ia sampai di sebuah kantor yang berdiri megah hampir setara dengan kantor Victor tapi kantor ini lebih memilik pengamanan yang ketat dan pegawai yang sangat banyak.

Saat ia masuk semua orang yang berpapasan dengannya langsung membungkukkan badan. Ia langsung mempercepat langkahnya agar bisa cepat sampai di ruangan laki-laki tua itu.

"Kita udah sampai. Silahkan masuk," ucap Gading sambil membukakan pintu untuk Axel.

Axel pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan yang sangat bersih dan rapi membuat siapa saja betah berada di sini tapi sayang ini bukan waktunya untuk Axel mengagumi ruangan ini karena sekarang sudah ada laki-laki tua itu.

"Kalau anda sekaya ini kenapa harus sampai-sampai mengaku sebagai ayah kandung saya? Asal anda tau kalau saya ini hanya siswa biasa yang tidak punya harta apapun," ucap Axel sambil menatap tajam laki-laki itu.

"Sepertinya kamu masih belum bisa menerima keadaannya dengan baik," ucap laki-laki tersebut.

"Sampai mati pun saya nggak akan nerima orang yang tiba-tiba mengaku sebagai ayah kandung saya."

"Mau dengar cerita menarik?"

"Tidak perlu."

"Dulu ada suami-istri yang menaruh anaknya di semak-semak. Mereka bukan bermaksud untuk membuangnya tapi menguji anak tersebut. Selama anaknya di asuh orang lain mereka selalu mengawasi perkembangan anaknya itu dari jauh. Mereka juga memastikan kalau perusahaan orang yang merawat anaknya itu dalam keadaan normal agar orang itu bisa membelikan barang apapun yang anaknya inginkan. Mereka juga tau tentang anaknya yang selalu bekerja sebagai kuli panggul di pasar dan pernah sempat koma. Mereka selalu menahan diri untuk menampakan diri dan akhirnya sang suami menemui anaknya saat anaknya telah selesai olimpiade."

Semua yang dikatakan laki-laki itu persis dengan kejadian yang terjadi di kehidupan Axel, tentang dirinya yang bekerja sebagai kuli panggul dan tentang ia yang sempat koma.

"Anda pikir setelah menceritakan itu saya akan menganggap anda sebagai ayah kandung saya? Saya rasa anda tidak sebodoh itu," ucap Axel.

"Tingkah mu semakin lama semakin sama kayak ayah kamu ya," ucap seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

"Dia bukan ayah saya," ucap Axel.

"Dia ayah kamu dan aku ibu kamu," ucap wanita itu sambil mengelus puncak kepala Axel.

"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian mengincar apa dari saya?" tanya Axel sambil mundur satu langkah menjauh dari wanita itu.

"Kami hanya ingin anak kami kembali ke rumah, apa itu salah?" jawab wanita tersebut.

"Iya kalian salah. Kalian salah karena saya bukan anak kalian," ucap Axel.

"Apa perlu tes DNA?" tanya wanita tersebut.

Belum sempat Axel menjawab pertanyaan wanita tersebut tiba-tiba ada seorang pengawal yang masuk begitu saja ke dalam ruangan.

"Maaf atas ketidaksopanan saya bos tapi kekasih dan sahabat tuan muda diserang oleh segerombolan orang," ucap pengawal tersebut.

"Siapa yang ngelakuin?" tanya Axel.

"Kalau informasinya yang saya dapat benar, gerombolan itu dipimpin oleh Renzi dan Arka."

Axel mengepalkan tangannya kuat. Emosinya memuncak setelah mendengar nama tersebut. Ia beranjak pergi dari situ tapi langkahnya dihentikan oleh wanita yang mengaku sebagai ibunya tadi.

"Jangan gegabah. Kamu sendiri mereka banyak," ucap wanita tersebut.

"Terus saya hanya diam gitu saat tau kalau sahabat dan pacar saya dikeroyok!"

"Axel jaga bicara kamu. Dia ibu kamu!"

"Jangan bercanda, sekarang saya lagi emosi jadi jangan buat saya melayangkan pukulan ke muka kalian."

"Terus dengan kamu emosi kamu bisa nolongin mereka? Enggak!"

"Tapi dengan emosi saya yakin bisa bikin mereka terbebas dari sana."

"Iya mereka bisa keluar tapi nyawa kamu yang melayang."

"Saya sudah siap mati."

Plak!....

Suatu tamparan mendarat tepat di pipi Axel setelah ia selesai mengucapkan kalimat itu. Axel memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan perempuan tersebut. Ia tidak pernah merasakan sebuah tamparan sesakit ini sebelumnya.

"Jangan pernah bilang seperti itu di depan ibu!"

Axel (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang