Axel langsung kembali ke kantor Dirga setelah mengantar Viola pulang ke rumah. Ia sudah memutuskan suatu pilihan yang akan merubah seluruh struktur kehidupannya mulai saat ini. Ia sangat benci harus mengakui kekalahannya.
"Jadi gimana?" tanya Dirga.
"Jangan senang dulu. Saya ke sini cuma berterima kasih tidak lebih," jawab Axel.
"Sifat keras kepalamu sepertinya menular ke Axel," ejek Wulan.
"Namanya juga ayah sama anak pasti sifatnya sama," ucap Dirga sambil mengacak-acak rambutnya. Ia kesal karena sifat keras kepalanya menurun ke anaknya.
"Saya bukan anak anda," bantah Axel.
"Mau sampai kamu menolak kenyataan?" tanya Wulan.
"Saya bahkan tidak melihat satu pun bukti nyata," jawab Axel.
"Kalau gitu kita tes DNA," ucap Dirga.
"Anda kira saya bodoh? Anda bisa saja mengubah hasil tes DNA tanpa sepengetahuan saya," ucap Axel.
"Ayah suka pemikiran kritis kamu tapi ini bukan saatnya untuk menggunakan itu, ini soal hubungan darah bukan soal logika," ucap Dirga.
"Walau pun terbukti kalau anda adalah ayah kandung saya itu nggak akan merubah apapun, mungkin saya akan kembali tapi saya nggak akan pernah menganggap kalian," ucap Axel.
"Rasa sayang bisa tumbuh seiring waktu. Ibu yakin cepat atau lambat kamu akan nerima kita," ucap Wulan.
"Terserah. Saya nggak ingin melanjutkan perdebatan ini," ucap Axel sambil berjalan menjauh meninggalkan mereka berdua.
Langkah Axel berhenti sempurna saat Gading berdiri di hadapannya. Ia menghembuskan nafas pelan mencoba untuk tetap tenang dalam kondisi sekarang. Ia harusnya tau kalau sekali ia datang ke sini pasti tidak akan bisa keluar lagi.
"Mau kemana? Kamu pulang sama kita," ucap Dirga.
"Ayo lah jangan bercanda," ucap Axel.
"Mulai hari ini kamu tinggal sama kita," ucap Wulan.
Axel tau betul arti dari kalimat itu. Ia juga tau kalau hari tenangnya akan lenyap menit ini. Kehidupannya akan mulai berubah hari ini dan ia sangat tidak suka dengan perubahan itu.
*****
Di kamar serba biru ini lah Axel merebahkan dirinya, kamarnya terasa sangat asing membuatnya tidak bisa tertidur dengan nyenyak, rasanya sangat berbeda dengan kamar kos yang selama ini ia tinggali. Ia sangat merindukan kamar kosnya walau ukurannya sempit, tapi tempat itulah yang menjadi tempat istirahat Axel selama 6 tahun terakhir.
Axel langsung menutup matanya saat mendengar pintu kamarnya sedang berusaha dibuka. Semakin lama suara langkah kaki semakin terdengar jelas. Ia berusaha untuk tidak menunjukan gelagat yang bisa membongkar kebohongannya.
Sebuah handuk kecil yang sudah dicelupkan ke air panas mendarat tepat disebuah memar Axel. Orang itu sedang mengompres luka Axel akibat pertarungan tadi.
"Kamu udah tumbuh besar ya," ucap wanita itu.
Axel tau siapa pemilik suara itu, tapi ia hanya diam dan tetap menutup matanya. Ia menunggu saat yang tepat untuk membuka matanya.
"Umur kamu sudah 18 tahun ya, selamat ulang tahun ya sayang maaf ibu baru bisa bilang sekarang," ucap wanita itu dengan lembut sambil mengelus rambut Axel.
Hati Axel sakit mendengar itu. Ia tidak menyangka kalau perkataan Wulan bisa membuat diri seperti ini. ia merasakan perasaan tulus seorang ibu dari ucapan Wulan tadi.
"Kamu sudah berjuang sejauh ini jadi sekarang sudah waktunya kamu istirahat biar ayah sama ibu yang manjain kamu," ucap Wulan.
"Maaf tapi soal ninggalin kamu saat bayi itu tradisi dari keluarga ayah kamu, kamu ditinggalin di situ biar kamu bisa bertahan hidup sendiri sampai umur 17 tahun, inti dari semuanya itu biar kamu bisa mandiri tanpa bantuan kami dan ternyata kamu melebihi ekspektasi kami, kamu bahkan sampai rela kerja jadi kuli panggul, ibu bangga sama kamu " lanjut Wulan.
Satu tetes air mata mendarat tepat di pipi Axel. Wulan tidak bisa menampung air matanya lebih lama lagi. Ia sangat merindukan anak kandungnya ini. Ia tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Hatinya sudah sangat tersiksa selama ini karena dipisahkan dengan anaknya dan sekarang ia bisa terhindar dari semua siksaan itu karena Axel sudah berada di sisinya walau belum sepenuhnya menerimanya.
"Udah jangan ganggu Axel dulu. Biarin dia istirahat," ucap Dirga sambil memeluk tubuh Wulan.
Dirga dan Wulan pun memilih untuk keluar dari kamar Axel. Mereka membiarkan anaknya itu istirahat dengan tenang. Tepat setelah pintu tertutup rapat mata Axel langsung membuka sempurna.
"Bodoh," ucap Axel sambil menyeka air matanya.
Axel tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Hatinya sangat sakit mendengar perkataan Wulan tadi, tapi untung saja ia masih bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Ia tidak ingin membiarkan kedua orang itu melihat air matanya.
Axel berdiri lalu beranjak ke arah balkon. Saat sudah berada di sana ia melihat keadaan sekitar. Tadi sempat ia berencana untuk kabur, tapi saat melihat Dirga dan Wulan sedang ada di depan rumah ia mengurungkan niatnya.
"Ternyata benar, cinta dan kasih berada di atas segalanya, bahkan dengan satu tetes air mata bisa merubah tatanan logika, aku kira rasa benci itu mutlak tapi ternyata salah karena hanya dengan hembusan cinta bisa merontokkan segala rasa kebencian yang ada," gumam Axel sambil menuliskan kata-kata itu di buku diary nya yang selalu ia simpan di dalam tas.
Setelah selesai menulis ia langsung memasukan diary itu ke tasnya lagi. Ia keluar dari kamar sambil menyampirkan tas miliknya ke bahu, tapi saat sudah berada di depan kamar ia langsung bertemu dengan Dirga.
"Mau kemana?" tanya Dirga.
"Kembali ke kos saya," jawab Axel.
"Mulai sekarang ini rumah kamu jadi kamu akan tinggal di sini bareng ayah dan ibu."
"Saya mau ambil baju."
"Nggak perlu. Ayah udah suruh orang buat beliin baju buat kamu."
"Buku pelajaran saya di kos semua."
"Buku kamu sudah ada di perpustakaan, nanti suruh aja Gilang buat ngambil buku-bukunya."
"Sebaiknya anda tidak terlalu mencampuri urusan pribadi saya."
"Ayah nggak akan ikut campur selama itu tidak bertentangan dengan kehendak ayah."
"Ini kehidupan saya jadi anda tidak berhak untuk ikut campur."
"Selama kamu tidak salah memilih keputusan ayah nggak akan ikut campur."
"Harusnya kalimat itu buat diri anda sendiri 18 tahun yang lalu," ucap Axel sambil masuk kedalam kamarnya.
Axel menyandarkan punggungnya ke pintu. Ia duduk lemas dibelakang pintu. Ia sangat tidak ingin berbicara seperti itu kepada Dirga, tapi emosinya lah yang memaksanya. Ia menyesal karena tidak bisa menahan emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Axel (Tamat)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan seorang laki-laki yang berusaha untuk mengabulkan setiap impian sahabat-sahabatnya tanpa memikirkan tentang perasaannya sendiri. Ia yang selalu memendam perasaan sedihnya dan masa kelamnya sendiri. Ia yang sudah mencin...