Hujan deras mengguyur seluruh jalan kota membuat semua pengemudi motor menjadi basah akibat airnya. Banyak orang yang memilih untuk melanjutkan perjalanan karena sudah terlanjur basah kuyup sedangkan Axel dan Viola memilih untuk berteduh di sebuah cafe yang berada di seberang taman kota.
Axel memesan kopi sedangkan Viola memesan susu untuk menghangatkan tubuh mereka walau hanya sedikit karena tidak bisa di pungkiri cuaca kali ini sangat dingin.
Mata Axel selalu berpusat ke arah perempuan yang berada di depannya ini. Perempuan yang tidak bisa berhenti memandangi air hujan yang turun membasahi jalanan.
Semakin lama ia memandangi perempuan itu semakin sulit juga untuk mengalihkan pandangannya. Ia merasa kalau kecantikan Viola sudah membuat matanya nyaman dan tidak bisa berpaling ke arah lain.
Setiap menitnya hanya digunakan untuk mengagumi kecantikan Viola. Tanpa lelah ia mengeluarkan sejuta kalimat yang menunjukan bahwa ia sangat mengagumi wanita itu.
Pandangan Axel perlahan demi perlahan mulai beralih ke arah keluar jendela. Ia tersenyum saat melihat ada dua anak kecil sedang berlari-larian di taman. Kedua anak kecil tersebut saling mengejar satu sama lain dibawah rintik air hujan membuat Axel mengingat kejadian saat ia dan Viola sedang hujan-hujanan bersama setelah pulang sekolah saat SMP.
Axel tersenyum saat salah satu anak kecil itu melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun melambaikan tangan untuk membalas anak kecil itu.
Tangan Axel mulai bergerak ke kaca yang dekat dengannya. Pada kaca yang berembun ia tuliskan sebuah kata-kata yang bisa membuat Viola tersenyum saat membacanya.
"Aku mencintaimu tanpa tau kapan pastinya aku mulai memiliki rasa itu. Viola Aurelia Aurora," ucap Viola membacakan kalimat yang dituliskan oleh Axel di kaca berembun itu.
Tak pernah Axel ingat sejak kapan ia mulai mencinta wanita yang berada dihadapannya ini. Ia hanya mengira kalau selama ini rasa yang berada di dalam hati ini hanyalah perasaan sayang sebatas sahabat tapi semakin hari perasaan itu semakin menyiksanya apalagi saat Viola bilang padanya kalau ia sudah punya pacar tak hanya itu ia dulu selalu menyesal karena harus menyimpan rasa kepada sahabatnya ini, tapi sekarang ia sudah membiarkan seluruh perasaan itu menguasai dirinya.
Rasa sesak yang selalu rasakan dulu sudah menghilang semenjak wanita itu sudah resmi menjadi kekasihnya. Ia selalu bersyukur karena perasaannya selama ini terbalaskan. Ia tidak menyangka akan berpacaran dengan Viola karena perempuan itu pernah bilang kalau ia menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat.
"Kurang 6 bulan lagi. Bertahan sebentar lagi ya," ucap Axel sambil mengelus punggung tangan Viola.
"Aku akan bertahan sampai kapanpun," ucap Viola.
Walau Axel sekarang sangat disibukan dengan persiapannya untuk olimpiade tapi ia selalu membagi waktunya untuk Viola. Bahkan ia selalu belajar di rumah Viola saat materi yang ia pelajari banyak jadi ia bisa belajar sekalian memastikan kalau pacar kesayangannya itu dalam kondisi baik-baik saja.
"Kamu udah mempertahankan perasaan ini 5 tahun lebih jadi sekarang saatnya gantian aku berjuang lagian 6 bulan itu sebentar jadi aku yakin kalau kita bisa sampai pada hari itu," ucap Viola.
Viola sadar kalau Axel sedang tidak memiliki banyak waktu karena harus mengikuti pembelajaran super ketat, tapi ia selalu berusaha untuk mengerti setiap keadaan laki-laki itu dan selalu siap melakukan apapun agar pacarnya ini tertawa agar bisa melupakan semua beban yang ada di dalam pikirannya.
"Hujan-hujanan yuk," ajak Axel sambil berdiri.
"Jangan aneh-aneh, besok kamu harus ikut bimbingan Pak Nanang," tolak Viola.
"Bilang aja takut," sindir Axel.
"Siapa juga yang takut!"
"Entah lah, siapa ya aku nggak kenal tuh."
"Ya udah ayo tapi kalau kamu sakit jangan nyalahin aku," ucap Viola sambil berdiri.
Axel tersenyum saat melihat Viola jalan duluan. Ia senang karena perempuan itu mengiyakan ajakannya untuk bermain hujan. Ia membayar minuman yang tadi ia dan Viola pesan lalu beranjak ke luar cafe untuk menghampiri Viola.
Saat di luar ia melihat kalau Viola sedang menatap ke arah taman tanpa basa-basi Axel langsung menggandengnya lalu menariknya.
Tubuh Axel dan Viola mulai basah akibat rintikan hujan. Mereka mulai berlari ke arah taman. Saat sudah berada di dalam taman mereka langsung bergabung sama anak-anak kecil tadi.
Seakan kembali ke masa kecil. Mereka berlarian ke sana kemari tanpa menghawatirkan apapun. Senyuman terukir jelas di muka mereka bahkan suara tawa terdengar beriringan dengan suara petir.
Axel memeluk tubuh Viola dengan erat. Ia melihat manik mata perempuan itu dengan lekat. Ia memulai mendekatkan keningnya ke arah kening Viola. Mata mereka saling bertatapan tapi tidak ada kalimat yang terlontar dari mulut mereka masing-masing dan akhirnya mulut Axel mulai bergerak untuk mengucapkan suatu kalimat.
"Jangan pernah berubah ya Vi," ucap Axel dengan pelan.
"Iya Xel."
"Aku janji setelah olimpiade selesai kita akan jalan-jalan setiap hari."
"Jangan maksain diri Xel. Ingat kamu juga harus bantu-bantu di pasar."
Axel masih bekerja menjadi kuli panggul walau sudah kelas tiga. Sebenarnya tanpa bekerja ia tak perlu pusing soal biaya sekolah karena semua sudah ditanggung oleh beasiswa, tapi ia tetap memaksa untuk bekerja dengan alasan ia senang bisa membantu para pedagang yang berada di sana.
"Jangan khawatir. Aku tau kok kapan harus istirahat dan kapan harus bekerja," ucap Axel.
"Bagus, aku nggak mau lihat kamu sakit."
"Ciee khawatir ya."
"Mana mungkin aku khawatir sama anak bandel kayak kamu."
"Terima kasih udah khawatir."
"Nggak perlu berterimakasih."
Viola menatap Axel dengan mata sendu. Ia sangat tidak ingin kalau pacarnya ini sakit akibat kebanyakan kerja di pasar. Ia sangat takut kalau Axel koma lagi dan meninggalkan ia untuk selamanya.
"Tuhan, beri aku waktu untuk tetap berada di samping dan memberi tawa di hidupnya lebih lama lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Axel (Tamat)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan seorang laki-laki yang berusaha untuk mengabulkan setiap impian sahabat-sahabatnya tanpa memikirkan tentang perasaannya sendiri. Ia yang selalu memendam perasaan sedihnya dan masa kelamnya sendiri. Ia yang sudah mencin...