Arkan menatap sekeliling kelasnya. Bel masuk telah berbunyi sejak dua puluh menit yang lalu, namun belum juga ada guru yang masuk. Kabarnya mereka tengah mengadakan rapat di kantor.
Pandangannya tertuju pada bangku kosong di samping Varo. Keningnya berkerut menyadari si pemilik bangku belum juga memasuki kelas. "Ezra kemana, Ro?"
Varo menghentikan aktivitas mencatat tugas fisikanya. Cowok itu menatap Arkan dan bangku di sampingnya secara bergantian. "Gue malah baru nyadar!" Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Pantesan sepi."
Tak lama setelah itu, seorang guru masuk. Mengakibatkan anak-anak yang semula berisik mendadak hening. Gavin yang tadinya tidur juga dibangunkan oleh Arkan.
"Selamat siang anak-anak!"
"Siang Bu!" Serempak seluruh penghuni kelas menjawab.
Dan kegiatan belajar mengajar pun dilaksanakan seperti biasa. Semua murid mengikutinya dengan tenang tanpa ada gangguan.
Namun tidak bagi Gavin, Arkan, dan Varo yang masih bingung dengan menghilangnya Ezra. Karena tidak biasanya cowok itu sampai membolos pelajaran. Bahkan kalaupun Gavin dan yang lainnya membolos, Ezra juga jarang sekali ikut mereka.
"Sebenernya Lo ngerasa ada yang aneh sama Ezra nggak sih?" bisik Arkan disela-sela kegiatan belajar.
Gavin mengangguk, "Mungkin lagi ada masalah." Arkan menyetujui ucapan Gavin. "Tapi kenapa dia seolah menjauh dari kita ya?"
Arkan berhenti menyalin tulisan di papan tulis. "Iya juga ya. Terus belakangan ini juga mukanya sering lebam gitu." Arkan memikirkan beberapa peristiwa dimana Ezra kepergok seperti sehabis berantem. Namun mereka juga tidak yakin Ezra bisa melakukannya. Pasalnya yang ada di pikiran mereka, Ezra itu anak Mami, meskipun kenyataannya ia anak yatim-piatu. Namun keberadaan dua kakak yang super posesif membuat cowok itu selalu dimanja, disayang, diperhatikan sana-sini. Ya... termasuk mereka yang sering memperhatikan gerak-gerik Ezra untuk kemudian dilaporkan pada kakak tertuanya jika ada hal yang mencurigakan. Bisa dibilang, Ezra itu sudah dianggap seperti adik mereka sendiri. Adik yang menurut mereka belum dewasa.
"Gue curiga ada hal yang disembunyiin dari kita."
Interupsi dari Bu Syeila, guru Sejarah Indonesia yang katanya adalah guru tercantik membuat mereka langsung menghadap ke depan. Gavin melirik sekelilingnya yang kebanyakan sekarang sedang menahan kantuk.
Siapa bilang kalau guru yang cantik bisa mengobati kebosanan ataupun rasa kantuk?
"Oke, sekarang Ibu kasih pertanyaan. Yang bisa menjawab akan dapat nilai tambahan. Siap?"
"Siap Bu...." Serempak, mereka menjawab dengan nada sedikit malas. Hanya beberapa murid saja yang masih terlihat semangat.
Murid-murid rajin mencoba memasang telinga mereka baik-baik. Berbeda dengan murid-murid yang malas seperti Gavin dan teman sekelas yang lainnya. Mereka justru mengobrol sendiri. Meskipun tidak mengeluarkan suara keras, tapi tetap saja bisa menimbulkan desah, yaitu bunyi dengan frekuensi yang tidak teratur.
"Siapa pengganti gubernur Daendels pada masa pemerintahan Belanda?!"
Beberapa murid mencoba mengingat kembali materi barusan. Beberapa yang lainnya mencoba menebak.
"Tadi siapa sih?"
"Oh, itu Bu! Pieter!"
"Pieter siapa?"
"Itu loh yang tadi!"
"Pieter Pan?"
"Herman mungkin."

KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN
Novela JuvenilWAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! CERITA INI HANYA UNTUK DIBACA, BUKAN DI-COPY PASTE, DITULIS ULANG, DIJIPLAK, ATAU BAHKAN DIBAWA KE DUNIA NYATA!! "Kita putus!" Hampir setiap hari kalimat itu dilontarkan olehnya. Ia Gavin, playboy yang satu hari bisa m...