Asya meletakkan buku bersampul biru dengan kasar di atas meja. Gadis itu mendengus kesal. Tidak puas dengan ending cerita yang dibacanya.
Gavin memandang dengan sedotan masih menempel pada mulutnya. "Lo kenapa?" tanyanya keheranan. Namun cowok itu akhirnya tersadar setelah melirik buku bersampul biru yang baru saja diletakkan oleh Asya.
"Masa pemeran cowoknya mati sih? Gue nggak terima!"
Oalah, korban novel ternyata. Batin Gavin mendecak kesal. Ia kira kenapa. Sudah waspada kalau-kalau Asya masih marah soal kejadian di kantin sekolah saat pulang tadi. "Udahlah! Cuman fiktif juga."
"Tetep aja. Sebagai pembaca, gue udah menganggap semua tokoh di dalam cerita itu nyata—dengan syarat emang ceritanya bagus. Kalau nggak percaya, coba tanya sama pecinta novel."
Gavin menggaruk kepalanya bingung. Tapi ia mengangguk-angguk membenarkan. Meski tetap saja alasan itu terdengar tidak masuk akal di telinganya.
Asya berusaha melupakan cerita itu. Tapi sepertinya akan sulit, mengingat tokoh cowok dalam cerita itu bernama 'Gavin'. Membuatnya selalu membayangkan wajah Gavin di depannya selama membaca novel itu.
"Emangnya si cowok mati kenapa?" Jujur, Gavin penasaran. Sebagus apa sih, cerita yang Asya baca? Sampai-sampai ia diabaikan selama beberapa hari terakhir gara-gara buku bersampul biru yang ia belikan.
"Kecelakaan. Kelindes ban truk."
Gavin bergidik ngeri. Beristighfar dalam hati, semoga kejadian itu tak pernah menimpa orang-orang terdekatnya. Kalaupun ia mati, setidaknya tubuhnya masih utuh dan bisa dimakamkan secara layak. Itu sih cita-citanya.
"Kayaknya lo harus baca deh."
Gavin menggeleng cepat. "Nggak nggak nggak! Gue nggak cocok baca begituan," katanya. Kembali menyedot vanilla milkshake yang dipesankan Asya.
Asya tertawa. "Siapa tau lo beneran menghayati. Soalnya kan si cowok yang disini namanya juga Gavin."
Uhuk ....
Gavin tersedak hingga terbatuk-batuk. Ia menatap horor gadis di hadapannya. "Jadi, si Gavin mati?"
Asya mengangguk lesu. "Lo tau? Gue jadi kepikiran lo mulu! Soalnya nama kalian itu sama," katanya.
Kali ini Gavin tertawa. "Kalo nasib gue beneran kek gitu, reaksi lo gimana? Sedih nggak?"
Mata Asya berkaca-kaca. "Kok lo ngomongnya gitu sih?"
Gavin panik. Nah kan, jadi salah. Niatnya bercanda malahan menimbulkan masalah baru. "Eh ... Maksud gue ...." Ia jadi bingung hendak melanjutkan kalimatnya dengan apa.
Cowok itu bangkit, memasang wajah memelas. Ia berjongkok di hadapan Asya. "Maafin gue," katanya meraih sebelah tangan gadis itu.
Semenjak balikan dengan Asya, Gavin jadi cowok bucin yang selalu ingin membuat pacarnya nyaman. Entah berapa lama lagi ia bisa bertahan.
Asya mengangguk seraya mengusap sudut matanya. "Jangan diulangi lagi!"
Senyuman Gavin terbit. "Siappp!" Ia kembali bangkit. Duduk pada tempat semula dan menyesap vanilla milkshake yang tinggal seperempat gelas.
"Besok jalan yuk!"
Asya mengangkat wajahnya. "Kemana?"
Kedua bahu Gavin diangkat acuh. "Nggak tau," katanya tanpa beban.
"Kok nggak tau?"
"Davin yang ngajakin. Double date katanya."
Mulut Asya membulat. Merasa sedikit tak sabar untuk menantikan hari esok, juga gugup. Jujur, dirinya sangat penasaran dengan sosok pacar Davin yang namanya hampir sama dengan miliknya. Kalau sampai cewek itu lebih cantik, Asya pasti akan langsung minder. Karena biasanya selera Davin itu tidak main-main.
Gadis itu mengaduk milkshake nya dengan sedotan. Rautnya berubah sendu.
Gavin sadar akan hal itu. "Kenapa?" tanyanya lembut. Senyuman tipis terpahat di wajahnya.
"Cuman kepikiran aja, Asha nya Davin pasti lebih cantik daripada gue kan?" jawab Asya lugas. Ia menundukkan pandangan ke arah meja. Padahal tidak ada apa-apa di sana. Selain milkshake yang bahkan tidak dilirik secara langsung.
Gadis itu tersentak ketika tangan yang semula berada di atas meja digenggam oleh Gavin. Asya tidak bereaksi.
"Sya," panggil Gavin.
"Hmm ...."
"Kan lo tau, gue sukanya sama lo, Panda ... Bukan sama cewek lain, ataupun Asha nya Davin."
Ketika mendongak, wajah tampan Gavin yang dihiasi senyuman membuat Asya sedikit merasa lebih tenang. Tatapan mereka bertemu untuk waktu yang lumayan lama.
Senyuman Gavin itu menular. Maka dari itu, Asya mau tak mau ikut mengembangkan senyumnya.
"Makasih, Lion!"
Keduanya sama-sama menoleh ke luar ruangan. Hujan masih turun, namun tidak terlalu deras. Lampu sorot dari kendaraan menambah cantik rintik-rintik air di sana. Seolah mereka tengah mengadakan pertunjukan dadakan kepada seluruh kota.
"Habis ini mau langsung pulang?"
Asya mengangkat bahunya. Namun beberapa saat kemudian ia mengangguk. "Ke toko buku dulu mau nggak?"
Sudah dikasih tahu kan kalau semenjak balikan dengan Asya, Gavin menjadi sosok remaja yang akan melakukan apapun demi pacarnya? Jadi, dengan cepat ia mengangguk. "Mau dong ... Mau sekarang? Terobos aja, sekalian mandi hujan."
"Boleh. Siapa takut!"
Keduanya lalu berdiri. Tak perlu repot membayar karena pesanan sudah dibayar sebelum mereka menikmatinya. Berlari—meski tahu tak ada gunanya juga karena ujung-ujungnya tetap kehujanan—menerobos hujan menuju ke arah dimana motor Gavin terparkir.
"Nanti gue cariin novel buat lo deh."
Gavin memasangkan helm di kepala Asya. Menepuk kacanya hingga merosot dan membuat Asya memekik kaget. Namun yang ada selanjutnya hanya suara tawa dari mereka berdua.
"Dijamin happy ending."
"Nggak percaya! Yang rekomendasi dari lo kemarin aja si 'Gavin' mati."
Rintik-rintik hujan mulai menembus pakaian mereka. Memberikan sensasi dingin namun menyenangkan. Apalagi ketika Gavin mulai melaju dengan kecepatan rendah menembus tetesan yang semakin lama semakin lirih.
"Pasti happy ending! Percaya sama gue!"
🌟🌟🌟🌟🌟
TAMAT
22 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN
أدب المراهقينWAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! CERITA INI HANYA UNTUK DIBACA, BUKAN DI-COPY PASTE, DITULIS ULANG, DIJIPLAK, ATAU BAHKAN DIBAWA KE DUNIA NYATA!! "Kita putus!" Hampir setiap hari kalimat itu dilontarkan olehnya. Ia Gavin, playboy yang satu hari bisa m...