Twins

5.3K 277 2
                                    

Happy reading!!!

🔆🔆🔆

Gavin mengambil napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ditatapnya cowok yang tengah bermain laptop di sampingnya. Ia sedikit menunduk, meremas kesepuluh jarinya. "Lo ... lagi ngapain?"

"Masukin data anak-anak kelas X."

Suasana seketika hening.

Gelagat aneh yang ditunjukkan Gavin membuat cowok itu menoleh sekilas dengan sebelah alis yang terangkat. "Kenapa lo?"

Gavin menggaruk tulang hidungnya, "Gue pengen ngomong sesuatu sama lo!" ucapnya dengan nada serius, lirih.

"Ngomong aja, nggak papa!"

Merasa tak kunjung ada sepatah kata pun yang diucapkan Gavin, membuat cowok bernama Davin itu terpaksa menghentikan aktivitasnya sejenak. Agar bisa leluasa mendengarkan apa yang akan dibicarakan Gavin sebenarnya. "Kenapa sih Gav?"

"Gue ...." Gavin menggantungkan kalimatnya. "Lo tau Resya, kan?"

Davin mengangguk, "Tau, mantan lo!" Ia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Menatap layar laptop yang menampilkan tabel data-data anak kelas X. Nama, alamat, tempat tanggal lahir, dan nama orangtua mereka.

Gavin meneguk ludahnya sendiri, ia menatap wajah cowok yang memiliki wajah hampir sama dengannya.

"Gue hamilin dia!"

Jemari Davin berhenti mengetik keyboard laptop. Mencoba mencerna kalimat yang meluncur dari mulut Gavin. Apakah mungkin ia salah dengar? Perlukah ia ke dokter THT untuk memeriksakan diri?

Tubuhnya menegang. Ia mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa apa yang dialaminya sekarang ini hanyalah mimpi. Otaknya berusaha menyangkal omongan Gavin barusan. Ia tidak yakin jika Gavin akan melakukan hal yang tidak masuk akal itu.

"Nggak lucu Gav!" Jemari Davin kembali bergerak lincah di atas keyboard. Membuang jauh-jauh obrolan tidak penting tadi.

"Gue serius!"

Davin kembali berhenti mengetik. Sekarang harapan kalau Gavin itu bercanda pupus sudah. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap kosong layar laptop yang tengah menampilkan informasi data-data anak kelas X. Tadinya ia memang ingin tidak percaya. Tapi nada bicara Gavin terlalu serius untuk diajak bercanda.

"Gue harus gimana ngomong sama bokap?"

Davin mengusap kasar rambutnya. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa jika kejadiannya sudah seperti ini. "Lo tenang dulu! Kita pikirin caranya, gue yakin Papi pasti bisa ngerti kok," ucapnya sedikit menenangkan. Meskipun dalam hati ia sangat takut.

"Gue takut Dav!"

"Kalo Papi ngusir gue gimana? Gue nggak mau jadi anak gembel."

"Gue nggak mau jadi ayah diumur segini, belum siap!"

"Terus kalo nanti—"

"Gavin stop!" Gavin terdiam mendengar gertakan Davin. Ia melirik ke arah cowok yang kini tengah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Padahal yang berbuat salah kan Gavin, tapi kenapa yang terlihat lebih pusing Davin?

"Sejak kapan?" tanya Davin, masih dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

"Dua bulan yang lalu!"

Terdengar suara helaan napas dari mulut Davin. Sebenarnya ia ingin sekali marah dan menghajar Gavin habis-habisan. Karena sudah berani mencoreng nama baik keluarga.

Tapi entah kenapa rasanya sangat sulit.

Ia tidak akan mampu melakukannya.

Tanpa sepengetahuan Davin, Gavin mengeluarkan sesuatu secara diam-diam dari dalam kantong celananya. Ia melipat bibirnya ke dalam, mengulum senyum.

GAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang