Gavin menatap sendu rumah Asya yang masih kosong. Sudah dua minggu cowok itu bolak-balik ke rumah Asya berharap gadisnya sudah di rumah. Setiap pagi, sore, dan malam, Gavin selalu datang. Berdiri di depan gerbang rumah Asya, sembari mendongak dimana kamar Asya berada. Berharap gadis itu muncul dan turun menghampirinya.
Cowok itu menghela napas panjang. Kembali harus merasakan kecewa dengan kedua rumah yang saling berhadapan ini masih kosong. Ya, Gavin sudah tahu dimana rumah sepupu Asya berada setelah dikasih tahu oleh Echan waktu itu.
"Dek! Masih nungguin juga?"
Gavin menoleh, tersenyum hangat pada ibu-ibu yang sudah sembilan kali ini menemukannya sedang bengong di depan rumah Asya. Ibu-ibu yang sama dengan yang mengatainya menderita kelainan sarap. "Iya nih Bu!"
"Sayang banget ya, waktu mereka pergi saya nggak sempet tanya mau kemana. Soalnya keliatan buru-buru banget mereka pas balik buat ngambil baju. Asya aja masih pake seragam sekolah waktu berangkat."
Gavin mengangguk. "Oh ya, waktu berangkat, sepupu Asya ikut nggak?"
Ibu-ibu bertubuh gempal itu berpikir sejenak. "Nggak Dek! Rumah sepupunya udah kosong duluan sebelum Asya berangkat." Ibu-ibu tadi kemudian berpamitan pada Gavin untuk berbelanja di tukang sayur perempatan jalan.
"Makasih, Bu!"
Cukup lama Gavin berdiam diri seperti patung di sana. Hingga akhirnya dering ponsel di saku celananya membuat cowok itu harus segera pergi. Ia meninggalkan rumah Asya setelah mendapat panggilan dari Davin.
Lo dimana Asya?!
***
"Belum ada kabar juga?" tanya Davin melihat kegusaran kembarannya ketika ia sampai di rumah Ezra. Mereka ingin bermain game, tapi berhubung Ezra tidak diizinkan keluar, jadilah rumah cowok itu sebagai tujuan.
Gavin menggeleng pasrah. Ia belum juga berbicara semenjak datang tadi. Masalah Asya telah membuat dirinya gila. Dua minggu bukanlah waktu yang singkat baginya. Mungkin kalau Asya pergi dengan kabar, Gavin tidak akan se-menderita ini.
Tapi Asya pergi tanpa kabar. Bahkan para sahabatnya pun dibuat kebingungan dengan kepergian Asya yang mendadak.
Gadis itu menghilang begitu saja. Bumi telah menelannya.
"Jangan-jangan Asya tiba-tiba dijodohin lagi," tebak Ezra.
"Ngaco lo! Emangnya ini kayak di drama-drama itu apa?" sanggah Varo yang masih punya hati nurani untuk tidak membuat Gavin semakin pusing.
"Eh, kita nggak ada yang tau ya! Coba deh kalian pikir! Asya tiba-tiba ngilang, terus sepupunya juga sama-sama ngilang. Kan bisa aja, sekarang mereka lagi ijab qobul dan sepupunya itu ikut jadi saksi!"
Semua orang berdecak mendengar alasan Ezra yang tidak masuk akal.
"Coba tanya sama Arkan!" suruh Kenzo tanpa alasan. Cowok itu asyik mengecek ponselnya.
"Lah, kok gue?!"
"Lo kan yang feeling nya selalu tepat diantara kita," sambung Kenzo membuat Arkan mendengus kesal.
"Maksudnya gue itu kayak cenayang, gitu?"
"Itu nyadar!"
"Elah anjir lo!" Arkan ingin sekali melemparkan sepatu yang dipakainya ke wajah Kenzo yang sekarang justru tertawa. Untungnya ia masih punya otak untuk melakukannya.
"Hahaha... Iya juga ya?! Menurut lo gimana, Kan?" tanya Gavin pada akhirnya membuka suara. Setelah bermenit-menit bungkam.
"Mana gue tau!" kesal Arkan. Wajahnya sudah kusut.

KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN
Teen FictionWAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! CERITA INI HANYA UNTUK DIBACA, BUKAN DI-COPY PASTE, DITULIS ULANG, DIJIPLAK, ATAU BAHKAN DIBAWA KE DUNIA NYATA!! "Kita putus!" Hampir setiap hari kalimat itu dilontarkan olehnya. Ia Gavin, playboy yang satu hari bisa m...