"Vin!"
Gavin hanya bergumam sebagai jawaban atas panggilan Ezra. Dari tadi, cowok itu sibuk melamun di bawah pohon besar. Padahal kan tidak baik melamun di tempat-tempat seperti ini. Takutnya ada makhluk halus yang penasaran dengan kehidupan Gavin dan pada akhirnya kepincut untuk merasuki tubuhnya. Kan tidak lucu kalau pulang dari acara camping, Gavin harus pergi ke Mbah Dukun guna mengusir paksa makhluk yang menempelinya.
"Gimana dong, hape gue disita sama Abang gue!"
Mendengar itu membuat Gavin menghela napas berat. "Lagian salah lo juga Zra! Ngapain sih, ngrekam kejadian di toilet itu?" tanyanya dengan sewot. Dari kemarin, Ezra tidak berhenti membicarakan tentang ponsel yang disita oleh kakaknya. "Mana nggak dihapus lagi," imbuhnya dengan nada kesal.
"Ya kan gue nggak tau, kalo ternyata Kak Siska sama cowok itu lagi ngelakuin yang aneh-aneh," Ezra membela diri. Ia tidak berbohong. Cowok itu memang tidak tahu kalau apa yang dilakukan oleh Siska dan salah satu penghuni kelas rehabilitasi merupakan tindakan yang melanggar peraturan sekolah.
"Lo nya aja yang bego!" Gavin melirik sekilas ke arah sahabatnya yang menggerutu kesal.
"Trus kata abang gue, video itu mau diserahin ke pihak sekolah." Ezra menundukkan kepala ketika mengatakan kalimat tersebut.
Mata Gavin hampir keluar dari tempatnya. Kalau seperti itu caranya, lambat laun kembarannya akan tahu masalah ini. Tentu saja ada keuntungan dan kerugiannya.
"Apa?" Meskipun cowok itu mendapatkan keuntungan dengan kandasnya hubungan antara Davin dan Siska cepat atau lambat, tapi ia tidak bisa membiarkan kembarannya merasakan kekecewaan dari cewek yang sama.
Bersamaan dengan itu, seorang gadis berlari kecil ke arah mereka sembari menenteng dua botol minuman.
Tanpa menjawab pertanyaan Gavin, Ezra langsung berlari meninggalkan tempat kejadian. Asya yang baru datang dibuat terheran-heran dengan raut kesal yang ditunjukkan oleh pacarnya.
Bukannya apa-apa. Gavin hanya kesal dengan Ezra yang sempat-sempatnya menunjukkan cengiran khas sebelum tadi berlari untuk bergabung bersama Davin. Mereka terlihat bekerjasama dengan anggota OSIS untuk mengumpulkan sampah yang berceceran. Entah apa yang sedang merasuki cowok itu sampai bisa jadi rajin seperti ini.
"Kenapa Vin?" tanya Asya seraya memandangi mereka yang tengah mengumpulkan sampah dan menaruhnya pada plastik hitam besar.
Menyadari kedatangan Asya, Gavin segera mengubah raut wajahnya. "Nggak papa kok!" Dengan senyuman manis, cowok yang memakai jaket berwarna abu-abu itu menerima sebotol minuman isotonik yang disodorkan oleh Asya.
Gavin mengedarkan pandangannya ke sekeliling bumi perkemahan. Semua anak tengah bermain-main setelah kegiatan berakhir. Kebanyakan dari mereka saling berebut untuk bisa menaiki sampan kecil yang berada di sebuah kolam yang lumayan luas.
Gavin menggeleng. Bukan pilihan yang tepat untuk menikmati matahari terbenam bersama Asya. Ia lalu beralih pada sebuah bukit kecil yang terletak di belakang tenda anak-anak. "Ke sana yuk!"
Dengan senang hati, Asya mengangguk. Mereka berjalan dengan Gavin yang memimpin di depan. Tentu saja ia tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada gadisnya jika berjalan di depan. Ia lalu menggenggam erat jemari Asya ketika mereka harus sedikit menanjak untuk sampai di puncak bukit yang tidak seberapa tingginya itu. Tapi tetap saja, jalanan yang keduanya lalui cukup curam.
"Ati-ati!"
Mengabaikan perkataan Gavin barusan, Asya memilih menikmati pemandangan dari atas sini. Padahal berdiri saja ia masih harus dipegangi oleh Gavin agar tidak tergelincir.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN
Teen FictionWAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! CERITA INI HANYA UNTUK DIBACA, BUKAN DI-COPY PASTE, DITULIS ULANG, DIJIPLAK, ATAU BAHKAN DIBAWA KE DUNIA NYATA!! "Kita putus!" Hampir setiap hari kalimat itu dilontarkan olehnya. Ia Gavin, playboy yang satu hari bisa m...