Gara-gara Kacang

797 66 9
                                    

"Disamperin malah pergi, mau kemana lo?" tanya Davin dengan tas yang menyampir di pundaknya. Ia menatap Gavin yang keluar dari kelas sembari memegang sekotak susu vanila dengan raut bertanya-tanya.

"Kelas Asya! Lagi ada masak-masak di sana!" Sembari tetap melangkah, Gavin menoleh ke belakang. Sementara tangan kanannya bergerak untuk menusukkan sedotan plastik ke lubang yang tersedia di susu kotaknya.

"Kuylah Vin! Kita icip-icip," kata Arkan yang berjalan di belakang Gavin. Diikuti oleh Varo dan Ezra secara berurutan.

Varo dan Ezra ribut merebutkan cokelat batangan yang entah didapat dari mana. Pertikaian itu dihentikan oleh Arkan yang dengan sabar mematahkan cokelat tersebut menjadi dua bagian. Cokelat di tangan kanannya ia berikan pada Ezra, sementara yang di kiri dimakannya sendiri.

"Arkan! Sialan lo!"

Davin mendengus kesal. Ia berbalik mengikuti langkah para sahabatnya. Persetan dengan Kenzo yang nanti akan bingung mencarinya. Siapa suruh pergi ke toilet lama sekali.

"Ck, haish...kayak anak-anak banget sih mereka?" Davin berkacak pinggang memperhatikan para sahabatnya yang berlarian ketika menaiki anak tangga menuju ke kelas Asya.

Ia memilih melangkah biasa. Tidak perlu tergesa-gesa.

Kalau kata pepatah Jawa yang diajarkan oleh kakeknya, 'Alon-alon waton klakon' yang memiliki makna pelan-pelan asal tercapai tujuannya.

Ketika di anak tangga pertama, ia berpapasan dengan Gea yang mukanya kusut seperti pakaian yang tidak disetrika. Tangannya membawa sepiring benda berwarna hitam yang Davin yakini adalah hasil eksperimen praktek.

"Kenapa lo?"

Gea menoleh malas. "Nggak papa. Kesel aja!" Ia berhenti di samping Davin. Untungnya lebar tangga cukup untuk memuat dua orang. Jadi mereka tidak perlu berhimpitan.

"Kesel kenapa?" Davin belum puas dengan jawaban Gea. Jiwa-jiwa keponya bergejolak minta diberi jawaban yang pasti.

Gea menghela napas berat, ia menyodorkan piring yang ia bawa. "Bolu gue gosong," ucapnya dengan nada pasrah, kemudian merengek seperti anak kecil. "Huwaaa ...."

Davin beralih menatap piring di tangan Gea. Ia baru tersadar kalau ternyata warna hitam benda di piring Gea dihasilkan dari proses pemanggangan yang terlalu lama. Hidungnya juga seolah baru bisa berfungsi ketika Gea mengatakan fakta yang sebenarnya.

Sedetik kemudian matanya berbinar. "Wih ... gue boleh minta satu nggak?"

Gea mengangguk bingung. Ditatapnya Davin yang dengan senang hati melahap sepotong bolu gosongnya. Sekarang tinggal dua potong. Sebenarnya tadi ada banyak, tapi karena kondisinya terlalu gosong, terpaksa ia buang. Padahal kalau dikasih ke Davin, bolu itu tidak akan bernasib sial di tong sampah.

"Mwakwasih Gwea!!"

Davin menepuk pundak Gea sebelum akhirnya berlari menaiki anak tangga. Seperti yang dilakukan para sahabatnya tadi.

Gea masih terheran-heran di tempatnya. Ia menuruni anak tangga, sesekali menengok ke atas, siapa tahu Davin kembali ke bawah untuk memuntahkan bolunya.

Tapi nyatanya tidak.

Ia tersenyum kecil. Hatinya sedikit senang mengetahui kalau masih ada orang yang mau memakan bolunya. Meskipun itu hanyalah Davin, bukan Ezra seperti yang diharapkan.

Entahlah, hubungan Gea dengan Ezra seolah tak ada perkembangan sama sekali. Ezra masih tidak peka untuk mengetahui perasaan Gea. Dan Gea sudah lelah memberikan semua perhatiannya agar cowok yang disukainya tahu.

GAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang