Menghilang

885 79 14
                                    

"Kok nomornya nggak aktif?" gumam Gavin seraya menatap aneh ponsel di tangannya. Sudah sejak semalam ia mencoba menghubungi Asya. Namun gadis itu seolah menghilang begitu saja. Pesan-pesan yang ia kirimkan secara teratur setiap setengah jam sekali tak ada yang dibaca. Bahkan, tanda centang pada aplikasi WhatsApp hanya menunjukkan centang satu berwarna abu-abu.

Cowok itu masih mencoba berpikir jernih. Barangkali Asya sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Gavin lalu menaruh kembali ponselnya ke atas meja. Ia harus segera turun ke bawah dan mengikuti acara sarapan yang diadakan oleh Intan setiap pagi.

Namun bunyi notifikasi pesan yang masuk membuat Gavin mengambil kembali ponselnya. Ia ingin memastikan kalau Asya sudah membaca dan membalas pesan-pesannya.

Ternyata bukan. Gavin mendengus kesal. Ternyata dari Kenzo yang memintanya untuk memberitahu Davin agar membawa buku fisika miliknya.

Malas mengetik meski tiga huruf, Gavin memilih menggunakan voice note untuk membalas pesan Kenzo. "Iyaaa ...." Belum sempat ia melepaskan tombol mikrofon, suara teriakan Intan hampir saja membuatnya terkena serangan jantung.

"GAVIN! CEPETAN TURUN ATAU MAMI SERET!"

Mungkin beberapa teriakan berhasil terkirim bersama pesan Gavin. Cowok itu mengelus dada dan balik berteriak. "SEKEDHAP MALIH, BIYUNG!!"

Gavin membalas mengecek akun Instagram milik Asya sebentar. Meskipun itu tidak berguna. Tapi entahlah, ia merasa akan tenang setelah melihat akun yang hanya berisi lima postingan foto.

"GAVIN!"

Cukup! Gavin menekan tombol keluar dengan tergesa. Cowok itu lalu berlari turun ke bawah. Jika satu menit lagi dirinya belum sampai di meja makan, habislah telinganya memerah karena jeweran Intan yang tak bisa diremehkan kekuatannya.

Karena terlalu terburu-buru, Gavin lupa mengikatkan sebelah tali sepatunya. Alhasil ia menginjak tali tersebut dan berhasil mendaratkan pantatnya dengan sempurna di anak tangga.

Cowok itu mengaduh kesakitan. Membuat ketiga anggota keluarganya yang lain menoleh panik.

"YA ALLAH GAVIN!! UDAH BERAPA KALI MAMI BILANG NGGAK USAH LARI-LARIAN?!" Intan mendekat dan mengulurkan tangannya. Wanita perkasa itu menarik putranya dengan kekuatan penuh. Bau asap dapur hasil dari eksperimen memasaknya tercium oleh indra penciuman Gavin. Tak apa, Gavin menyukainya. Apalagi ketika maminya itu selalu mencoba resep-resep baru. Meskipun terkadang gagal, tapi entah kenapa selalu pas di lidahnya. Atau memang dasarnya lidah Gavin diciptakan untuk memakan segala sesuatu yang dimasak Intan?

Gavin mengerucutkan bibirnya. "Mami kenapa sih, teriak-teriak mulu kalo ngomong sama Gavin?" kesalnya. Cowok itu mendengar gelak tawa dari arah meja makan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Davin dan Tama?

"Kalo kamunya nurut, Mami nggak akan teriak-teriak, Sayang ...," kata Intan dengan nada geram. Ia menepuk-nepuk seragam dan celana Gavin agar bersih dari debu yang menempel. Yang terasa seperti tamparan keras bagi Gavin.

Tama menggelengkan kepalanya seraya terkekeh. "Gavin! Mami kamu itu memang galak kaya macan. Makanya yang jadi anaknya harus pada nurut, ya?!" katanya yang membuat Intan mendelik tajam.

"Oh ... Makanya Papi tobat jadi playboy?" Davin terbahak setelah mengatakannya. Gavin mengikuti tawa kakak kembarnya. Seluruh ruangan tertawa, kecuali Intan yang kini memasang wajah kesalnya.

"Papi jangan macam-macam, ya!" peringatan Intan seraya menunjuk wajah Tama menggunakan centong nasi.

Tama meneguk kopi buatan istrinya dengan santai. Pria itu tersenyum senang. "Tergantung Mami nya gimana, mau nggak rutin ngasih jatah?" katanya yang mengundang gelak tawa dari kedua putranya yang bisa dipastikan sudah baligh.

GAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang