Keping 6 : Apa? Gus Ganteng Tidur dengan Perempuan?

4.5K 386 32
                                    

Chapter ini saya dedikasikan untuk teman, sahabat, saudari tercinta yang sudah mendukung saya hingga saya bisa berkarya sejauh ini. Semoga Allah menyayangimu, beibih DianSora

happy reading

..................

Dua mahasiswa satu jurusan itu masih saling pandang heran. Satu lebih tinggi dari yang satu. Mata mereka sama membelalaknya. Mulut mereka sama ternganganya.

Ini adalah senja paling menakjubkan, seolah-olah rumah bambu milik Gus Ganteng sedang menjadi saksi betapa tegangnya suasana saat ini.

Ada dua orang yang berdiri, saling menguarkan aroma permusuhan yang membumbung tinggi.

Bagaimana Lora tak terkejut, Gus Ganteng itu adalah Ikhsan, senior celana dalam merah muda yang ia panggil Sanul atas sebuah kesepakatan.

Dan tentu saja Ikhsan lebih terkejut, yang berdiri di depannya saat ini untuk menjemput miniatur jembatannya adalah Lora, junior yang menyimpan aib terbesar dirinya selama hidup di dunia.

"Sunbaenim*?" Lora mengangkat suaranya, bertanya heran sambil menunjuk Ikhsan dengan jarinya. Lalu gadis itu memukul keningnya pelan, bergumam kesal, "aigoo, aigoo*"

Ikhsan yang tak mengerti apa yang Lora katakan membalas tak kalah keren sambil mengangkat sebelah alis matanya, "limadzha anti marhatan ukhra?*"

Jadilah dua orang itu saling unjuk kebolehan tanpa mengerti bahasa satu sama lain. Satu dengan Koreanya, dan satu lagi dengan Arabnya.

Karena sadar jika diteruskan akan semakin menimbulkan kesalahpahaman, akhirnya Lora mengalah, "udahlah Bang Sanul, Bahasa Indonesia aja. Biar kata nilai UN Bahasa Indonesia Lora pas-pasan, Lora lebih cinta bahasa negeri Lora."

"Kamu yang memancing saya duluan." Ikhsan membalas dingin sambil membetulkan sarungnya yang sedikit agak kendor karena tadi dibawa duduk nemplok.

"Udah hampir maghrib, Lora mau cepet aja, mana jembatannya?" Lora mendesak. Gadis itu, meski terkejut mengetahui bahwa yang dikatakan Gus Ganteng adalah Ikhsan, melihat Ikhsan bersarung di depannya kini merasa agak geli. Aneh aja gitu. Di kampus tadi gayanya Ikhsan keren, tiba di rumah nyantri amat.

"Tunggu sebentar, saya ganti sarung dulu." Ikhsan izin masuk ke dalam rumahnya. Membalik badan. Membelakangi Lora.

Belum utuh Ikhsan melangkah masuk, Lora kembali bersuara, "eittts Bang, ni Lora disuruh berdiri di sini aja ceritanya nih?"

Ikhsan berdecak pelan, menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya lagi ke arah Lora, "ini rumah saya, dan saya tinggal sendiri di sini. Belum ada tamu wanita yang pernah saya bawa masuk, dan tidak akan pernah ada. Jangan buat fitnah bermunculan di antara kita. Kamu tunggu saja di situ, saya tidak akan lama."

Mendengar ucapan itu, Lora merasakan ada asap keluar dari kepalanya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ikhsan tak sepenuhnya salah, lagian ini lingkungan pesantren, tentu saja Ikhsan harus menjaga sikapnya.

Sekitar lima menit mengganti baju dan sarungnya, Ikhsan kembali keluar menemui Lora. Kali ini senior rupawan itu membawa segelas air putih dan menyodorkannya pada Lora, "minum dulu, kamu pasti haus."

Lora heran seketika dengan sikap Ikhsan yang tiba-tiba berubah.

"Ambil gelas ini, tangan saya tidak diciptakan untuk memegang gelas seumur hidup." Ikhsan berkata dingin setelah memastikan Lora hanya cengo, tak menggubris uluran gelasnya.

Demi tak menyulut perpecahan, Lora patah-patah mengambil gelas itu, hati-hati, takut jemarinya bersinggungan dengan jemari Ikhsan. Nanti bisa-bisa seniornya itu berkata lebih baik memegang bara api saja dari pada mereka harus bersinggungan. Lora tak ingin mendengarnya, itu sangat membunuh martabatnya.

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang