Keping 8 : Sidang

4.4K 388 36
                                    

happy reading

........................

Teriakan istighfar itu keluar secara serentak dari bibir Ikhsan dan Lora. Sama kerasnya. Sama panjangnya. Menggema di langit-langit rumah bambu. Menggetarkan jiwa.

Melihat betapa kompaknya mereka beristighfar, Amira terkekeh sambil bercanda, "nah itu serasi. Istighfar aja bareng."

Ikhsan menarik napas panjang. Kesal? Mana boleh, itu Umanya. Tak kesal? Mana bisa, si Uma mintanya yang ada-ada saja.

Amira tak menunggu jawabah dari dua muda-mudi di depannya itu, ia menatap Lora dan langsung berkata sok dingin, "Lora shalat dulu gih, terkejutnya sambung nanti abis shalat."

Lora tak bisa membantah, mukena kini sudah ada di tangannya, digenggamnya erat. Waktu shalat juga sudah berjalan, maka tanpa sepatah kata pun Lora mengangguk pada Amira dan membalik badannya. Melangkah menuju tempat wudu. Namun belum utuh punggung gadis berlesung pipi itu menghilang, Lora manatap Ikhsan yang berdiri di depannya bak tatapan milik impostor dalam Among Us. Nyata tapi tersembunyi, menyimpan kekesalan yang haqiqi.

Setelah Lora menjauh untuk melaksanakan shalat, Ikhsan mendekati sang Bunda, mencerca Amira dengan banyak pertanyaan, "Uma, kenapa Uma bilang gitu? Kenapa Uma buat kepala Ikhsan makin nyut-nyutan? Nggak bisakah kita bahas yang lain selain soal nikah, Ma? Ikhsan masih kuliah Uma, lagian... lagian kalau harus nikah, biarkan Ikhsan cari calon Ikhsan sendiri. Ikhsan tak tahu Lora itu seperti apa..."

"Makanya nikah biar kamu tahu Lora itu seperti apa." Amira memotong cepat.

"Ma..." Ikhsan memelas, "Ikhsan tak suka Lora, Ma. Uma ngertilah, Ikhsan mohon."

"Makanya nikah biar suka." Amira masih mempertahankan pendapatnya.

"Ikhsan nggak gampang membuka perasaan, apalagi sama cewek seperti Lora." Ikhsan berjuang meyakinkan sang Bunda atas keberatannya.

"Makanya nikah, hidup bersama, nanti-nanti juga hatimu bakal kebuka." Amira masih kekeh dengan maunya.

"Tapi Ma..." Ikhsan menghela napas panjang, berat untuk mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Tapi mau tak mau ia tetap harus mengatakannya, "oke Ikhsan akan nikah, tapi nanti, tidak dengan Lora. Lagian Ikhsan punya cewek yang Ikhsan suka Ma. Tapi sekarang belum Ikhsan katakan karena masih ingin fokus kuliah."

Amira berdecak pelan, "ooo, jadi kamu udah punya perempuan yang bakal kamu taksir buat kamu nikahin setelah tamat kuliah nanti?"

Ikhsan mengangguk cepat, berharap sang Bunda bisa mengerti keadaanya.

"Buang rasa sukamu itu. Uma belum pernah bertemu sama cewek yang kamu taksir itu, yang jelas di hadapan Uma sekarang Lora. Maka sekali Lora ya Lora." Amira nyolot.

"Uma... Ikhsan mohon, jangan sekarang dan jangan Lora." Ikhsan memelas pada ibunya, duduk di depan sang Bunda sambil bersimpuh.

"Harus sekarang dan harus Lora." Amira bersikeras.

Ikhsan menggeleng pelan, wajah tampannya mengkisut bak kacang polong terkena sinar matahari nonstop selama tiga hari.

"Biaya hidup jangan pikirkan, kalian tetap kuliah sampai tamat. Uma tak akan meminta banyak hal, apa lagi menuntut cucu. Uma akan biayai kuliah Lora dan dia harus tinggal di pesantren bersama kamu, di rumah bambu ini. Berangkat kuliah bersama setiap hari." Amira semakin menjadi-jadi. "Uma mau Lora Ikhsan, mau Kepincut Gelora ada di sini."

"Ma, sebenarnya yang jadi anak siapa? Kenapa Uma tak bisa mengerti perasaan Ikhsan?" Ikhsan sudah tak tahu lagi harus berkata seperti apa pada Amira.

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang