Keping 32 : Gencet Lebih Greget

4.3K 355 127
                                    

-Part ini sangat panjang, dan Uma cuman mau pesan satu hal, ati-ati baper ^_^-

.

Happy reading

..................

Ikhsan membatu, tangannya kaku. Dua pena yang patah bak tak bertulang tergeletak sembarang di bawah kolong meja. Berguling-guling tanpa ada yang mengasihaninya.

Meski suasana pondok sate itu sangat ramai kini, kepala Ikhsan serasa lengang tak berbunyi. Kosong entah mengapa.

Di seberang si tampan, Lora masih menyambung kalimatnya pada Zico dengan senyum sumringah yang dibuat-buat. Seolah-olah ingin memamerkan pada Ikhsan kalau ia bisa memikat lelaki mana pun yang ia mau dengan mudahnya. Titisan Choen Song Yi, si peri lima belas detik dengan racun femme-fatale yang tak terbantahkan lagi, 'cukup dengan memandangnya lima belas detik, kau akan tersungkur gila karena cinta'.

"Kalian lanjutkan dulu, saya izin ke toilet sebentar." Ikhsan bersuara setelah tak tahan lagi melihat Lora yang tak henti-hentinya bercerita dengan Zico, Adit dan Renald tepat di seberang dirinya.

Membawa tubuhnya yang seberat batu, Ikhsan berusaha melangkah tertatih. Tak tahu dengan rasa hatinya saat ini. Padahal dulu dulu kalau mau rapat ia sangat senang sekali. Ada kesempatan bisa berjumpa dengan Arini. Tapi entah mengapa, hari ini rasa senang itu tak ada. Bahkan saat Arini meneleponnya tadi, ia masih memikirkan bagaimana perasaan Lora.

Apa yang sedang terjadi pada sang Gus sungguh tak bisa diterjemahkan. Dirinya bingung mau mengurainya dari mana.

Ikhsan berjalan menuju toilet tidak benar-benar untuk membuang air. Ia hanya ingin menjauh sejenak, tak membiarkan teman-temannya apa lagi Lora tahu kalau matanya kini sedikit panas, ada tampungan air yang berdesakan minta dijatuhkan dari permukaan korneanya. Menggenang pilu.

Sesampainya di toilet pria, Ikhsan berhenti di depan cermin besar ruang tunggu toilet itu. Tak ada siapa-siapa di dekatnya kini. Hanya ia seorang diri. Lalu lelaki berkemeja biru langit itu mendekatkan jaraknya dengan cermin, menyentuh permukaan cermin dengan telapak tangan kirinya, meraba pantulan pipinya dengan lembut. Dan membiarkan setetes air mengalir di sana, terjun dari dua mata indahnya. Kiri dan kanan.

Ikhsan memang mudah kesal, tapi ia lebih mudah iba hati. Ikhsan memang gampang marah, tapi ia lebih gampang menangis. Waktu itu saja, setelah mencoba memberi Lora pelajaran agar jera menggodanya, malah ia yang menyesal mati-matian dan ingin menangis karena saking merasa bersalahnya.

Gus Ganteng yang masih berdiri di depan cermin itu menarik napas panjang. Menghelanya kasar. Lalu mengeringkan sisa air matanya dengan tisu yang disediakan tergantung di samping kiri cermin.

Ikhsan tak tahu ia sedang apa, ia juga tak bisa jelaskan mengapa ia menangis. Tapi satu yang pasti, di dadanya kini ada 'alarm rasa' yang sedang aktif, dan sayangnya... sang Gus tak notice itu.

Benarlah ternyata, 'kagum karena sifat' jauh berbeda dengan 'kagum karena rasa'. Jika kau mengagumi seseorang karena sifatnya, maka akan sangat wajar kau ingin dekat dengan orang itu, melihatnya, berteman dengannya, bahkan yang lebih ekstrim kau ingin seperti dia. Tapi jika kau mengagumi seseorang karena rasa, kau tak akan peduli bagaimana pun sifatnya. Sebab rasa yang kau tanggung akan mengajarkanmu untuk menerima orang itu apa adanya.

Ikhsan selesai melakukan pendinginan pada matanya. Lelaki tampan beralis tajam itu juga terlihat tak sekacau tadi. Maka, setelah dirasa cukup, si tampan keluar dari toilet dan melangkah kembali untuk bergabung dengan rekannya.

Sepanjang jalan menuju kelompoknya, Ikhsan tak henti-henti bergumam 'hasbunallah wani'mal wakil' sembari mengiringinya dengan istighfar. Si tampan melangkah tegap meninggalkan tetesan air mata tadi jauh di belakang. Sebuah tetesan air mata yang tak akan pernah Lora tahu kalau itu jatuh karenanya.

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang