Keping 46.A : Memincut 'Kepincut'

4K 337 176
                                    

Happy reading

..................

Mereka masih duduk di atas ranjang kusut milik Lora. Menahan debar dalam dada masing-masing yang entah mengapa semakin ditahan rasanya semakin menggila. Mana semuanya terlihat gelap lagi.

Ikhsan, tanpa bisa mengontrol pikirannya sempat mengadu puncak hidungnya dengan puncak hidung Lora tepat lima detik sebelum lampu mati. Dan itu benar-benar membuat Lora ketakutan. Hanya saja si lesung pipi tak punya pilihan lain selain diam dan menerima dengan pasrah. Bukan, bukan karena Lora penasaran bagaimana rasanya beradu puncak hidung, tapi Ikhsan menahan keras pipi kiri Lora sehingga gadis itu tak bisa menarik wajahnya untuk menjauh.

Untungnya Ikhsan tak menurutkan apa yang pikiran berdengingnya ngiangkan. Tepat saat semua ruangan menggelap, otak Ikhsan kembali normal. Lelaki tampan itu dengan sadar menarik wajahnya menjauh dari wajah Lora. Merasa malu tiba-tiba.

Ketika semua cahaya hilang, Lora langsung berteriak dekat telinga sang suami tanpa kira-kira, mengatakan bahwa ia takut gelap dengan bocahnya. Dan Ikhsan tanpa menunggu jeda langsung menimpali teriakan itu menggunakan suaranya yang tenang, menampakkan peran melindungi. "Saya di sini. Saya memegangmu."

Untungnya listrik padam tak berlangsung lama, setelah dua menit dalam kegelapan, ruangan itu kembali benderang. Agaknya lampu mati hanya untuk mengontrol aktivitas Ikhsan agar si tampan tidak kebablasan. Toh ia baru saja meminta Lora memberikannya waktu untuk memahami perasaan, bukan meminta Lora memberikannya izin untuk menghadirkan bayi singa bertelinga panjang. Itu jelas dua konsep yang berbeda. Sungguh sangat berbeda.

Atau jangan-jangan sebenarnya kamar Lora dipasangi kamera pengintai oleh pihak gardu listrik, sehingga mereka tahu kapan saat yang tepat untuk menarik tuas. Mengacaukan malam minggu Gus Ganteng dan Nyonya Muda. Terniat sangat mengganggu proses penjajakan si tampan.

"Alhamdulillah."

Itu kata pertama yang keluar dari bibir Lora dan Ikhsan usai ruangan kembali bersinar.

Kini, dengan pencahayaan yang cukup keduanya dapat saling melihat wajah pasangan mereka

"Bang Sanul kok pipinya merah? Apa karena Lora kecup tadi ya?" Lora bertanya menggoda sambil menunjuk-nunjuk pipi Ikhsan dengan beraninya usai irisnya kembali disapa cahaya.

"Mana mungkin." Ikhsan menjawab dingin, malu karena ketahuan ia sedang bersemu. "Jangan mengada-ada Lora."

"Merah kok! Lora nggak bohong Bang. Liat aja sendiri ke cermin. Itu yang dekat tulang pipi di bawah mata." Lora bertahan dengan pendapatnya. Berkacak pinggang membanggakan diri.

Ikhsan hanya menggeleng pelan, memilih untuk tak membalas ucapan si lesung pipi.

Dibandingkan dengan wajah Ikhsan, wajah Lora sebenarnya jauh lebih mengenaskan. Jika Lora berkata bahwa pipi Ikhsan memerah, justru Lora seluruh wajahnya yang memerah, tidak hanya pipi, hidung, dahi, dagu, bahkan kelopak mata pun ikut memerah. Bak jambu air yang siap panen, dipetik lalu dilelang ke penadah ikan. Lah! Hanya saja Lora tak sadar akan hal itu. Dan tentu saja ia tak sadar, sebab kalau ia sadar berarti ia bukan Lora.

Lora masih duduk di atas ranjang mengamati wajah Ikhsan dengan teliti. Lalu tersenyum tipis. Bahagia mengetahui suaminya merona. Lupa diri kalau sebenarnya dia yang lebih parah.

"Kenapa senyum-senyum tak jelas begitu?" Ikhsan yang tak nyaman dilihat dengan cara seperti itu bertanya menantang.

Lora menggeleng cepat. Berusaha menyembunyikan senyumnya dengan ligat. Lalu mengganti topik pembicaraan agar tak menjawab pertanyaan dingin sang suami. "Tumben loh ini Bang."

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang